Janji untuk bertemu di festival pekan olahraga ternyata tidak dapat dilaksanakan.
Satu minggu belum ada kabar dari Eren. Selama itu pula ia berdiam diri di kamar. Mengandalkan Armin yang memilih untuk menghubungiku terlebih dahulu pada hari keempat melalui pesan singkat. Ia dengan senang hati memberitahu kabar terbaru sahabatnya. Sebisa mungkin ingin membuatku—sebagai pasangan jiwa Eren—tidak terlalu khawatir.
Meski tidak dapat berkomunikasi secara langsung, aku cukup tenang karena Eren berada di tangan yang tepat. Namun, tidak dapat dipungkiri jika rasa gelisah itu tetap ada.
Sampai di hari keenam, aku tak sanggup menahan semuanya.
Nekat, aku segera menelepon Eren usai pulang dari kantor. Lima kali tidak diangkat. Pada percobaan ketujuh, akhirnya panggilan tersebut dijawab oleh Armin. Ia menjelaskan situasi yang terjadi pada malam itu secara singkat.
Kondisi Eren sebenarnya sudah mulai membaik. Namun, gelombang heat terakhir tiba-tiba datang dan membuat kesadaran pemuda bermata hijau itu sedikit buram. Semua penjelasan tersebut terkonfirmasi setelah aku mendengar sendiri rintihan manis Eren. Memanggil namaku dengan penuh damba, berharap kehadiranku benar-benar nyata di sampingnya.
Sadar atau tidak, heat kedua yang Eren alami membuat hubungan kami sedikit merenggang.
Ya. Sangat disayangkan. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Setidaknya aku harus menahan diri dengan sekuat tenaga untuk tidak mengendarai mobil menuju asrama Akademi Mitras. Mendobrak kamar omegaku hanya untuk menyesali semuanya.
Meski sakit—oh, Tuhan, bukan hanya Eren yang merasakan sakit yang menyiksa—aku tidak bisa mengingkari janji di antara kami.
Janji bahwa aku akan menjalani masa pendekatan ini dengan perlahan.
Memikirkan nasib hubungan kami sudah pasti memengaruhi kinerja di kantor. Beruntung Erd bersedia untuk terus mengingatkanku. Pun, Gunther tampak lebih bersabar. Mereka berusaha tetap profesional. Tak ingin menanyakan kondisi omegaku secara langsung.
Walau—pasti—Gunther merasa gatal, ia tetap menghormati keputusanku yang memilih diam.
Setidaknya, berkat mereka berdua, proses penerbitan dan pendistribusian lima novel baru berlangsung sangat lancar.
Sampai akhirnya dua minggu berlalu begitu cepat.
Eren masih belum memberi kabar meski masa heat sudah berlalu. Pun—entah sengaja atau tidak—komunikasiku dengan Armin mendadak tidak berjalan dengan baik. Ia sudah tidak merespon pesanku sejak dua hari masa heat Eren berakhir. Bahkan mereka berdua tidak mengangkat panggilan telepon dariku.
Bisa ditebak, aku merasa hampir gila.
Oluo dan Petra juga tidak bisa diandalkan. Sudah beberapa kali aku datang ke panti asuhan, bermaksud untuk menemui Eren secara langsung. Namun, Petra hanya memberiku pandangan aneh sembari menggelengkan kepala ketika membuka pintu. Mengaku belum bertemu dengan Eren, meski aku bisa mencium aroma feromonnya dari luar rumah.
Gunther adalah satu-satunya orang yang bisa membantuku. Ia bersedia datang ke panti asuhan untuk menanyakan kabar Eren kepada Petra.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum ia datang ke kantor dan menggeleng lemah.
"Ia belum kembali bekerja di panti."
Adalah kata-kata yang Gunther ucapkan sembari menatapku lurus. Ada rasa bersalah yang terlihat dari pancaran matanya, tapi aku hanya memilih diam dan mengangguk pelan. Tak lupa mengucapkan terima kasih, memintanya untuk keluar dari ruangan sebelum emosiku meledak.

KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...