11. Us

2.4K 322 24
                                        

Hari itu Levi benar-benar menjemputku untuk makan siang bersama. Kami pergi ke sebuah restoran keluarga yang letaknya tidak jauh dari asrama. Di luar dugaan, aku merasa sangat tenang ketika bertemu dengannya lagi. Tidak ada gejolak emosi saat menatap sepasang mata hitam tersebut. Levi sepertinya terkejut dengan perubahan sikapku.

Dalam pertemuan itu, suasana di antara kami mulai mencair. Bahkan sampai selesai makan siang, kami tidak berhenti berbicara. Meski Levi lebih banyak merespon dengan gumaman pelan, tapi ia tetap mendengar ceritaku mengenai sekolah. Sebuah hal yang patut diapresiasi.

Komunikasi kami tidak berhenti sampai di situ. Kami mulai rutin mengirim pesan. Bahkan Levi tampak tidak keberatan ketika aku mengirim pesan di tengah jam kerjanya. Sesuatu yang lebih baik tidak kulakukan—Armin pasti akan memberikan petuah lain jika mengetahui hal ini—karena termasuk mengganggunya bekerja.

Secara singkat, hubungan kami mengalami perkembangan yang... baik.

Armin adalah satu-satunya teman dekat yang mengetahui hal ini. Respon yang ia berikan sangat luar biasa. Ia tidak berhenti tersenyum dan mengucapkan selamat. Bahkan sempat memberikan saran untuk memberitahu ibu, tapi segera kutolak. Meski terdapat perkembangan di hubungan kami, aku masih belum siap untuk menceritakan semuanya kepada ibu.

Setidaknya, aku harus memastikan bahwa proses pendekatan ini dapat berjalan dengan lancar.

"Rapikan rambutmu!"

Aku hanya bisa memutar mata, lelah. Sore hari, setelah mengetahui Levi akan datang menjemputku di asrama, Armin tidak berhenti mengomentari pakaian yang kukenakan. Ia terang-terangan memberikan komentar pedas ketika aku memilih mengenakan kaus hitam bergambar kepala beruang.

"Kau ini akan pergi kencan! Pakai baju yang benar!"

Dan aku tidak berhenti menyanggah, "Dia hanya datang untuk mengantarku ke panti asuhan—yang tidak lain adalah miliknya!"

Armin tidak peduli. Dua telinganya tertutup, tidak menerima setiap bantahan.

Pada akhirnya aku menyerah. Kaus hitam bergambar kepala beruang segera digantikan oleh kaus putih polos. Armin sudah hendak membuka mulut untuk melancarkan protes, sebelum kembali menutup mulut sembari berpikir. Kening mengerut begitu dalam. Aku hanya bisa menghela napas panjang ketika ia mengangguk puas.

Dering pesan masuk menjadi penyelamat sekaligus petaka. Sepasang mata biru laut itu melebar. Armin bahkan terlihat jauh lebih antusias. Ia segera meraih ponselku yang tergeletak di atas ranjang. "Cepat! Cepat! Jangan buat dia menunggu terlalu lama!"

"Ya, Tuhan. Dia baru saja sampai, Armin."

"Ya, aku tahu. Cepatlah!"

Aku mendecak lirih sembari meraih ponsel yang masih ia bawa. Usai memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku segera pamit. Armin mengangguk cepat dan tidak berhenti tersenyum.

Awalnya, aku menganggap reaksi Armin sangat berlebihan. Ya, aku dan Levi memang akan pergi bersama. Namun, kami hanya akan pergi ke panti asuhan. Semalam pria itu mengirim pesan. Memberitahu bahwa ada beberapa barang titipan teman untuk anak-anak di panti asuhan. Pun, ia telah berjanji akan datang berkunjung.

Bagiku, tidak ada yang terlalu spesial dari pertemuan ini.

Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum melihat Levi berdiri bersandar di sisi mobil. Ia terlihat... begitu tampan. Rambut hitam sedikit berantakan. Kemeja biru gelap terlihat sedikit ketat di area lengan berotot yang sedang bersedekap. Lengan kemeja digulung hingga siku, membuatku dapat melihat urat-urat yang menonjol seiring dengan jarak kami yang semakin dekat.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang