8. Bond

3.1K 439 108
                                    

Berhubung sudah mengetahui semuanya, aku harap Levi-san mampu memberikan waktu bagi Eren untuk berpikir lebih jernih lagi. Aku rasa Tuhan tidak akan diam melihat hubungan kalian menjadi renggang seperti ini.

Menurutku, Eren sangat beruntung memiliki teman dekat yang memiliki sifat dewasa seperti Armin. Aku masih ingat bagaimana mata biru yang sembab itu menatapku lurus. Pipi masih sedikit basah. Ia menyunggingkan senyum tipis. Memberikan ekspresi paling damai yang pernah kulihat. Seolah ia percaya bahwa takdirku bersama Eren akan baik-baik saja.

Aku sedikit skeptis dengan perkataannya mengenai 'Tuhan tidak akan diam melihat hubungan kami merenggang'. Armin mungkin tidak tahu bahwa Tuhan juga yang membuat kami seperti ini.

Bukankah itu lucu?

Namun, setidaknya, setelah bertemu dengan pemuda pirang tersebut, kondisi batinku terasa lebih stabil. Terutama usai mengetahui alasan dibalik semua sikap Eren yang memang sejak awal bertemu sudah terlihat aneh.

Kini, aku bisa melihat dengan jelas. Semuanya.

Dan aku yakin seratus persen, bahwa sesungguhnya, jauh di dalam hati pemuda tinggi tersebut, ia ingin tetap bersamaku. Ingin berada di jangkauan tanganku, lagi. Namun, rasa takut itu menahannya. Menahan kebahagiaan yang seharusnya bisa ia dapatkan dengan mudah.

Eren masih belum bisa melepaskan bayangan masa lalu. Ia masih menganggap bahwa semua alpha di dunia ini sama seperti pelaku kejahatan yang tega menghabisi nyawa Frieda. Ia lupa bahwa aku... tidak akan mungkin melakukan hal tersebut.

Tapi bagaimana Eren bisa yakin akan hal itu? Bagaimana Eren bisa yakin bahwa aku bukanlah alpha yang berbahaya? Bagaimana ia bisa mendapatkan bukti? 

Aku menghela napas panjang. Kepala mulai terasa pening. Entahlah, memikirkan pertemuan dengan Armin dua hari yang lalu selalu menguras tenagaku.

"Kenapa? Mulutmu gatal ingin merokok?"

Pertanyaan dengan nada sinis itu terdengar sangat menyebalkan. Aku hanya mendengkus. Melirik wanita berkacamata yang kini tersenyum penuh kemenangan. "Tidak. Aku gatal ingin menginjak wajah tololmu."

"Ouch—Levi. Meski itu memang benar, tapi bukankah kata-katamu sedikit kasar?"

"Apa, Mike? Coba ulangi sekali lagi."

Pria berjanggut tipis itu hanya terkekeh. Berusaha menghindar ketika Hanji mulai melempar kentang goreng. Erwin melerai dengan alasan tidak baik memainkan makanan. Sebuah alasan yang membuat wanita berkacamata mendengkus kasar dan menjulurkan lidah pada atasannya.

Lagi, aku menghela napas panjang melihat pertikaian yang tidak akan pernah berhenti. Entah mengapa kami berkumpul seperti biasa di restoran Farlan. Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena biasanya kami cukup sulit untuk mencocokkan jadwal. Namun, kini, tiba-tiba saja seluruh jadwal tiga manusia ini sedang senggang di waktu yang bersamaan.

Suatu kebetulan atau kesengajaan, aku tidak tahu.

"Bagaimana kondisimu? Kurasa perokok berat yang tiba-tiba saja tidak bisa merokok akan mengalami masa sulit."

Erwin mengalihkan pembicaraan. Membuatku mengangkat wajah dari kepulan asap di cangkir berisi teh hitam panas. "Cukup baik."

"Jangan bilang kau diam-diam merokok di luar kantor, Cebol."

"Tidak," jawabku singkat sebelum menyesap cairan gelap yang beraroma sangat menenangkan. "Kau bisa tanya Moblit."

"Kenapa aku harus bertanya kepadanya?"

"Bukankah semua informasi mengenai permasalahanku selalu kau dapatkan darinya? Gunther sangat tidak bisa diandalkan jika sudah berkumpul dengan Moblit dan Nanaba."

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang