7. His Stories

2.3K 420 54
                                    

Perhatian: Chapter ini mengandung penjabaran mengenai aktivitas kekerasan seksual.

*******************

Sepeninggal tiga sahabat—ya, kuakui status mereka karena telah banyak membantu—dari apartemen, aku memilih untuk berdiam diri di balkon kamar. Semilir angin malam yang sejuk membawa ketenangan. Tak ada puntung rokok yang menemaniku. Hanji telah menyita sisa rokok terakhir sebelum pergi. Sedikit memberiku ancaman jika berani menyentuh benda tersebut selama satu minggu.

Aku mendengkus pelan. Mengingat bagaimana wajah wanita itu ketika mengancam. Kening mengerut begitu dalam dengan bibir mengerucut seperti tikus got.

Sampai aku mendapat informasi dari Gunther atau karyawan di kantor bahwa kau mulai merokok dalam waktu satu minggu ini, awas ya, Cebol. Aku tidak akan segan memangkas habis kelaminmu, katanya.

Ancaman yang tidak masuk akal.

Namun, pada akhirnya, aku memilih untuk patuh. Sebagai tanda bahwa aku berutang kepada mereka karena telah membantu menemukan jalan keluar dari pemasalahan ini.

Toh, sepertinya paru-paruku sudah tidak kuat menampung semua nikotin tersebut.

Semilir angin kembali berembus. Aku memejamkan mata. Membiarkan helai rambut berkibar perlahan.

Kunjungan Hanji, Mike, dan Erwin nyatanya sanggup membuat kondisi batinku mulai membaik. Terlebih setelah mengisi perut kosong yang kini sudah tidak terlalu perih. Aku ingat bagaimana Mike tidak berhenti mengumpat dan memanggilku 'Si Bajingan Beruntung' karena mampu bertahan selama hampir dua minggu tanpa mengkonsumsi makanan apa pun selain minuman keras.

"Kau tidak muntah darah saja sudah menjadi tanda sebuah keberuntungan, Bangsat."

Ya. Mike memang benar.

Seharusnya, dalam kondisi seperti ini, aku mulai muntah darah. Lambung dan ginjalku rusak dan tidak berfungsi. Seharusnya seperti itu. Namun, kenyataannya, aku baik-baik saja. Usai menghabiskan makanan yang dipesan oleh Erwin, rasa mual tiba-tiba menghilang. Hanya tersisa sedikit rasa perih yang hingga kini masih terasa.

Maka, ancaman kedua pun muncul.

Mike melarangku untuk minum alkohol setidaknya selama satu bulan. Sebuah ancaman yang lebih berat dari sebelumnya. Aku sempat mengeluh. Mengatakan bahwa hal tersebut sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Ayolah.

Menahan diri untuk tidak merokok selama satu minggu saja sudah cukup susah bagi perokok berat sepertiku. Apalagi ditambah dengan tidak minum minuman keras selama satu bulan.

Dua manusia menjengkelkan itu tentu tahu mengenai fakta bahwa hanya minuman keras dan rokok saja yang mampu membuat pikiranku tetap waras.

"Waras? Mengurung diri di apartemen kotor dan bau selama dua minggu itu adalah perbuatan dari orang yang waras?—oh, astaga, aku gemas sekali ingin menghantam kepalamu dengan bokong titan."

Pada akhirnya, aku mengalah. Merasa bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata karena ingin melihat kondisiku membaik.

Maka dari itu, kini, aku memilih untuk menyeduh teh hitam. Menikmati aroma harum yang menenangkan. Setidaknya aku perlu kembali kepada kebiasaan lama (menikmati teh hitam) sebelum menyadari nikmatnya menenggak whisky.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang