1. Eren Jeager

7.1K 707 118
                                    

Mari kita mulai cerita ini dengan bagaimana caraku mengetahui namanya.

Semua terjadi tanpa terduga. Sesungguhnya, selama dua minggu, aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Meski batin tidak nyaman dan selalu memikirkan mata hijau yang membara di tengah emosi, aku tidak bergerak. Memilih untuk diam, membayangkan pemuda tinggi menatap dengan garang.

Pada dasarnya, aku bisa melakukan sesuatu.

Mencari informasi mengenai seseorang bukanlah sesuatu yang sukar. Aku bisa menyuruh siapa pun untuk mengumpulkan banyak hal mengenai pemuda tersebut.

Tapi, tidak.

Tidak kulakukan karena Ackerman tumbuh dengan rasa gengsi yang luar biasa tinggi. Bahkan melebihi tinggi tubuh cebol ini. Sesuatu yang tidak bisa kutepis karena memang itulah yang terjadi.

Maka dari itu, selama dua minggu, aku hanya bisa gelisah. Hati tidak tenang. Pikiran dipenuhi oleh cuplikan pertemuan kami yang sangat tidak menyenangkan. Suara bariton khas remaja terus berputar di dalam kepala. Seperti kaset rusak, bedanya, suara di dalam kepala ini sama sekali tidak bisa disingkirkan dengan mudah. Tidak semudah menekan tombol pause lalu suara itu akan menghilang begitu saja.

Tidak.

Demi Tuhan, diari pertamaku dipenuhi kata tidak. Bangsat.

Bagus. Berarti kalian bisa menebak bagaimana alur ceritaku ini. Bayangkan saja semua penyangkalan yang terus kulakukan tanpa sadar.

Dua minggu—ya, aku sudah menyebutnya dua kali, sialan. Diamlah dan nikmati saja ceritanya!—aku membiarkan kegelisahan tersebut menenggelamkan semua kewarasan yang bahkan tidak kusadari sama sekali.

Gunther adalah orang pertama yang merasakan keganjilan. Berperan sebagai tangan kanan dan penghubung komunikasiku dengan Si Brengsek Kenny, membuatnya dengan mudah untuk menyadari semua.

Pria berusia dua puluh tiga itu bertanya dengan nada sedikit khawatir. Pada dasarnya ia mengira ada sesuatu yang menggangguku dari rumah. Ia pikir Tua Bangka Kenny kembali berulah dan memuntahkan banyak omong kosong tentang keluarga alpha ideal—yang tentu saja tidak membuatku tertarik untuk mendengar satu kata darinya, jika itu benar-benar terjadi.

Intinya, ada orang lain yang membuatku tersadar bahwa pertemuan di taman bersama pemuda tinggi bermata hijau, ternyata mampu mengganggu seluruh kewarasanku.

Tepat pada minggu kedua, aku menyerah.

Pertanyaan Gunther memang membuatku sadar, tapi aku tetap tidak melakukan apa pun. Lebih tepatnya, belum. Masih enggan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa aku seperti terikat pada pemuda tersebut. Sampai akhirnya, aku tidak bisa menahan semua rasa gelisah ini.

Suka atau tidak, pemilik mata hijau itu memang bukanlah orang biasa.

Setidaknya untukku.

Dan satu-satunya yang mampu melegakan rasa gelisah ini adalah dengan membicarakan hal tersebut kepada orang lain. Sesuatu yang tidak kusukai. Sangat tidak kusukai.

Ingat. Ackerman dilahirkan untuk memiliki gengsi setinggi gedung pencakar langit. Dan darah sialan itu mengalir deras di dalam tubuhku.

Mendiskusikan masalah privasi kepada orang lain bukanlah hal yang menyenangkan. Terutama ketika semua orang terdekatku tidak memenuhi kriteria sebagai pendengar yang baik. Mereka berada di barisan teman berengsek perusak suasana batin, yang—sialnya—masih kuanggap sebagai kawan.

Menyembunyikan permasalahan juga bukan menjadi solusi utama. Terutama ketika ada satu orang yang memiliki indra penciuman setajam anjing satuan polisi. Hidung aneh itu—entah mengapa dan bagaimana caranya—mampu mencium kegelisahan dengan sangat tepat.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang