5. Hard Time

3.2K 465 244
                                    

Aku benar-benar bisa gila.

Aku tidak tahu jika mendekati seorang pelajar dapat membuat jantung melemah. Sungguh. Melakukan pendekatan dengan Eren Jeager adalah hal yang paling mendebarkan sekaligus menyenangkan.

Usai kecupan basah di pipi, kami menjadi lebih dekat. Eren tak ragu untuk mengirimiku pesan. Kapan pun ia mau. Sekadar bertanya kabar atau justru menceritakan hal-hal remeh yang terjadi di sekolah. Dan di luar dugaan, aku sama sekali tidak mempermasalahkan semua itu.

Sebisa mungkin aku membalas semua pesannya. Lalu ia akan merajuk ketika balasanku terlalu singkat.

Intensitas komunikasi kami semakin membaik. Tak hanya melalui pesan, kami juga sering melakukan panggilan telepon. Terutama saat akhir pekan. Eren selalu bersikeras ingin mengobrol hingga larut malam. Terkadang kami bisa menelepon hingga berjam-jam. Tak jarang remaja itu mengusulkan untuk video call saja. Sebuah usulan yang tidak mungkin kutolak.

Secara garis besar, hubungan kami sangat baik.

Permasalahan dengan Petra juga sudah selesai. Keesokan harinya setelah kejadian di panti asuhan, Oluo datang ke ruanganku. Wajahnya terlihat serius. Bibir membentuk senyum tipis. Beberapa waktu kami terlibat diskusi mengenai naskah yang ia kerjakan. Di luar semua permasalahan yang melibatkan kekasihnya, kinerja Oluo justru semakin membaik. Seolah ingin membuktikan kepada seseorang bahwa ia adalah pria yang dapat diandalkan.

"Maaf."

Adalah kata pertama yang ia ucapkan setelah sesi diskusi selesai. Ia mengangkat wajah. Binar mata menunjukkan rasa penyesalan yang seharusnya tidak ia genggam seutuhnya.

"Apa dia baik-baik saja?"

Oluo mengangguk. Bibir kembali membentuk senyum tipis. Berkas naskah sudah ia rapikan. "Jauh lebih baik dari yang kuperkirakan."

"Aku minta maaf telah membuat suasana makan malam saat itu menjadi tidak nyaman."

Ia menggeleng cepat. "Tidak, Levi-san. Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku... tahu apa yang Petra rasakan. Namun, aku memilih untuk diam. Dan sekarang aku tahu bahwa keputusan itu tidak tepat."

Oluo adalah pria yang baik. Aku tahu karena perasaannya kepada Petra terlihat sangat tulus. Ia sudah bekerja di perusahaanku ketika perjodohan itu terjadi. Bahkan sebelum aku mengenal Petra, mereka berdua ternyata sudah memiliki riwayat tersendiri.

Ia dan Petra menempuh pendidikan di universitas yang sama. Keduanya begitu dekat. Aku bisa mengingat jelas bagaimana ekspresi Oluo ketika rumor perjodohan itu menyebar sangat cepat. Ekspresinya dipenuh kekecewaan dan rasa sakit yang tidak mampu kulupakan. Ia hanya bisa tersenyum tipis. Memberi ucapan selamat kepada Petra saat wanita itu datang ke kantor untuk bertemu denganku.

Detik itu juga, aku semakin yakin bahwa perjodohan tersebut tidak bisa dilanjutkan. Bukan hanya karena aku tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Petra, tapi aku tahu bahwa ada pria lain yang mampu mencintainya dengan sangat tulus.

Dan terbukti sekarang. Oluo masih bertahan. Berusaha untuk menemani Petra meski perasaan wanita itu masih bercabang dan menungguku.

Aku menghela napas panjang. Mengingat semua kejadian tersebut membuat batin terasa tidak nyaman.

"Ia berhak bahagia," ucapku, menarik perhatian Oluo yang sempat menundukkan kepala. "Dan hanya kau yang mampu memberikan kebahagiaan tersebut."

"Aku... tidak terlalu yakin." Pria itu tersenyum tipis. Terlihat begitu... kecil dan tidak percaya diri. "Kurasa Petra hanya bisa bahagia jika bersama denganmu, Levi-san."

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang