Hubunganku dengan Levi semakin dekat. Usai kejadian kecup pipi yang begitu memalukan—Armin tidak berhenti menggodaku hingga detik ini—jarak di antara kami semakin menyempit. Bahkan mungkin hampir tidak ada lagi. Maka dari itu, aku mulai menyadari satu hal yang merubah sudut pandang hidup ini. Bahwa Levi adalah pria alpha yang sangat lembut.
Entahlah, bisa saja pemikiran itu hadir karena statusnya sebagai pasangan jiwaku.
Aku tahu. Lembut mungkin adalah kata yang terlalu berlebihan. Orang lain tidak akan memiliki pemikiran yang sama denganku bila bertemu Levi secara langsung. Dari segi penampilan, pria itu jelas—terlihat—jauh dari kata lembut. Terutama ia memang jarang sekali tersenyum. Hanya pada saat tertentu saja aku dapat melihatnya menyunggingkan bibir.
Harus diakui, secara penampilan, Levi memang terlihat menyeramkan. Rambut sehitam arang, alis tipis yang melengkung sedikit tajam, sepasang mata hitam kebiruan yang terkadang terlihat abu-abu, hidung mancung, dan bibir tipis yang selalu membentuk garis lurus. Belum ditambah dengan tatapan mata tajam. Namun, tidak dapat dipungkiri bila semua hal itulah yang membuat Levi menjadi pria yang begitu... tampan dan menarik.
Ya.
Aku tidak bisa mengelak fakta tersebut. Meski akal sehat ini berulang kali memberikan peringatan mengenai statusnya sebagai seorang alpha. Sosok yang seharusnya aku jauhi.
Seharusnya.
Sayang sekali aku tidak kuasa menahan semua rasa bahagia ini. Rasa yang begitu asing, tapi anehnya sangat menenangkan. Aku sempat membicarakan masalah ini kepada Armin. Respon yang ia berikan sangat tidak memuaskan. Ia tidak banyak berkomentar. Hanya ada ucapan selamat dan kikikkan mengerikan sebagai balasan.
Hal lain dari Levi yang baru aku ketahui adalah meski sibuk dengan pekerjaan di kantor, ia tetap bisa membalas pesan. Bahkan sesekali ia sempat mengangkat telepon ketika aku bosan dan ingin mendengar suaranya. Levi pasti akan terkekeh pelan saat aku mengakui hal tersebut. Detik berikutnya, ia tidak berhenti membicarakan situasi pekerjaannya yang sedang runyam.
Aku tahu. Pada dasarnya Levi memang bukan pria yang banyak bicara. Sejauh ini ia lebih sering diam dan akan membuka mulut seperlunya saja. Namun, jika aku sedang ingin mendengar suaranya, maka ia tidak akan bisa menolak. Seolah ingin mengabulkan apa pun yang aku minta, meski hal itu tidak biasa ia lakukan.
Intinya—kata Armin—Levi adalah tipe pria yang selalu diidamkan oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.
"Maka dari itu kau sangat beruntung, Eren."
Adalah kata-kata Armin yang hampir setiap waktu kudengar. Sesekali ia juga akan memintaku bersyukur kepada Tuhan karena telah menjadikan Levi sebagai pasangan jiwa. Sesuatu yang mungkin seharusnya kulakukan.
Namun, sayangnya, aku tidak merasa demikian.
Egoku terlalu tinggi untuk melakukan hal tersebut. Entahlah. Bagiku, mensyukuri kehadiran Levi—untuk saat ini—masih terlalu cepat. Memang terkesan labil, karena bagaimana pun juga, aku tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang semakin terasa.
Andai saja Armin paham bahwa hubungan ini sebenarnya terlalu rumit untukku.
Di sisi lain, orangtuaku juga memiliki pola pikir yang serupa dengan Armin. Aku telah memberitahu masalah pasangan jiwa ini kepada mereka. Respon yang diberikan oleh Ibu ternyata jauh di luar perkiraanku. Ia terdengar sangat senang dan tidak berhenti memintaku untuk mengajak Levi—yang namanya masih belum mereka ketahui—ke kampung halaman. Seolah tidak menyadari bahwa hal ini sebenarnya masih terlalu cepat, mengingat perbedaan usiaku dengan Levi yang jauh.
"Apakah dia tidak memperlakukanmu dengan baik?"
Salah satu pertanyaan Ibu yang membuatku terdiam pada suatu malam ketika aku meneleponnya. Pikiran segera mengingat kembali semua perlakuan Levi selama jenjang pendekatan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...