Part 15 - Twist and Two

2.8K 122 3
                                    

Dalam persembunyiannya, Via melihat Iel serta gadis yang bersamanya beranjak pergi. Ia mengulum bibirnya bimbang. Astaga, kenapa harus muncul pertanyaan apakah gue harus ngikutin kemana Iel pergi atau enggak?

Hal tersebut membuatnya seperti orang linglung. Ia sempat bolak-balik berjalan ke depan dan ke belakang. Ia melihat ke arah Iel sekali lagi sambil menimang-nimang. Baiklah Via, penyelidikan dimulai! Batinnya mantap seraya mengepalkan tangan meyakinkan diri.

Ia memutuskan mengikuti Iel dari jauh. Karena memilih jalan ini maka ia harus menerima risiko gondok melihat Iel begitu mesra menggenggam tangan sang gadis. Seakan tak ada kata risih sedikitpun.

Berjalan melewati sebuah kios yang menjual kacamata dan topi, Via pun singgah sebentar untuk membeli salah satu dari masing-masing. Ia memilih asal, yang penting bisa membuatnya tersamar dan tak dikenali khususnya oleh Iel. Ia buru-buru mengenakan kacamata ukuran cukup besar serta topi NY berwarna biru yang dibelinya. Ia juga mengenakan rambut palsu yang dibelinya pula ditoko yang sama.

Ia segera keluar dari kios dan untungnya Iel belum cukup jauh berjalan. Ia bisa menyusul dan memendekkan jarak, meskipun tidak terlalu dekat juga. Yah, semuanya bisa terbongkar jika mereka berjalan beriringan.

Iel serta gadis di sebelahnya menaiki eskalator menuju lantai 2. Kalau tidak salah, disana terdapat bioskop. Hmm, pasti tuh orang berdua mau nonton. Cie, yang mau pacaran di bioskop. Batinnya cemburu.

Dan benar saja, setelah sampai di atas, Iel dan gadis tadi berbelok ke arah jalan masuk menunu bioskop. Dugaan Via benar kali ini. Berarti tidak salah lagi, gadis di sebelah Iel itu pacarnya. Okey, Iel, kayaknya lo bener-bener nyuruh gue ngelupain lo! Batinnya. Meski begitu, ia tetap melanjutkan penguntitan-nya pada Iel.

Ia lalu melihat pemuda itu berjalan masuk ke dalam bioskop. Ia mengintip sebentar dari luar. Tentu, jika ia ikut masuk, percuma ia menjadi stalker dari tadi. Sama saja terang-terangan memberi tahu jati dirinya pada pemuda itu.

Iel memesan tiket untuk 2 orang, dirinya dan gadis di sebelahnya. Tangan mereka tak lagi saling menggenggam. Jarak mereka pun tak sedekat tadi. Sekarang mereka sudah terlihat seperti 2 orang yang akrab saja. Seperti temanlah lebih tepatnya.

Tanpa sadar, Via menghela nafas lega. Sedetik kemudian, ia mulai memikirkan apa yang ia lakukan tanpa sadar itu. Viaa, gak boleh! Pokoknya gak boleh! Batinnya menyangkal.

Iel dan gadisnya tiba-tiba berjalan keluar. Via yang melihat buru-buru menjauh dari pintu masuk dan mencari tempat bersembunyi.

Tak lama kemudian, Iel dan gadis tadi muncul. Beruntung mereka berjalan bukan ke arah dimana Via bersembunyi. Via menghela nafas lagi. Ia lekas masuk ke dalam bioskop, memesan tiket film yang sama dengan Iel serta tempat duduk tepat di sebelah pemuda itu.

Film yang dipilih Iel akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Hmm, pantas saja Iel dan gadis itu pergi lagi. Pikir Via. Dengan sangat terpaksa karena keputusannya mengikuti Iel hingga sampai ke bioskop ini, ia jadi harus menunggu sendirian hingga teater dibuka.

Beruntung, ia sudah terbiasa menunggu seperti ini. Menunggu kedatangan orang yang menjemputnya di sekolah merupakan latihan kesabarannya setiap hari. Bahkan dalam hal perasaan ia juga sudah terbiasa menunggu. Menunggu orang yang diinginkannya menjemput perasaan 'lucu' itu.

Namun, mungkin sekarang sudah berubah. Ia bukan lagi menunggu orang tersebut menjemput perasaannya tapi lebih kepada menunggu orang tersebut dijemput oleh siapa saja atau apa saja agar segera menghapus label sebagai orang yang ia inginkan.

"Teater 2 dibuka!"

Via mendongak cepat dan langsung berlari masuk ke dalam teater. Akhirnya, ia tak diharuskan menunggu lagi. Ia masuk mengikuti perempuan yang berjaga di dalam. Perempuan itu yang menunjukkan dimana tempatnya duduk.

MatchmakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang