"Haha.."
Tawa Agni tiba-tiba. Ia dan Kiki sudah berada di mobil sekarang. Kakinya sudah baikan dan tak terasa sakit lagi. Tapi, sakit itu malah membuka kembali memori dalam kepalanya dan membuat ia teringat akan kejadian masa kecilnya, bersama Aga.
Kiki menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali fokus menyetir. "Kenapa lo? Senyam-senyum sendiri, bagi-bagi kali ke gue!"
Lamunan Agni terangkat dan mengudara seketika. Ia tersadar dan lantas menoleh ke arah kakaknya. Senyum, ekspresi itu lagi yang ia lemparkan pada pemuda itu. "Gue lagi nostalgia." Katanya dengan mata menerawang.
Pasti Aga! Pikir Kiki. Membuatnya menghunuskan nafas agak tegas. Namun, masih tertutupi dengan senyum miring di wajahnya. "Bagian yang mana?" Tanyanya kemudian pura-pura tertarik. Padahal sumpah demi apapun ia ingin mematikan memori gadis di sampingnya tentang Aga-Aga itu.
Agni tak langsung menjawab. Keningnya tampak berkerut. Hal lain menjadi pemikirannya saat ini. "Sebelum itu, lo kenal Cakka darimana? Kok gak pernah bilang?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Kiki agak kaget. Ia lupa, cepat atau lambat adiknya pasti akan bertanya juga. Ia bahkan belum memikirkan jawaban jika adiknya benar-benar menanyakan hal itu dan itulah yang terjadi sekarang. Jawab jujur? Ah sepertinya asas itu tak berlaku padanya sekarang. Ia sama sekali tak menginginkan Agni tahu siapa Cakka, baginya. Dimana mereka bertemu, berkenalan dan 'berteman' seperti yang gadis itu pikirkan. "Emangnya kenapa? Lo minta kenalin gitu?"
Pandangan aneh pun langsung terunjuk padanya. Agni sekali lagi mengerutkan kening. Pemuda di sebelahnya lagi-lagi bertingkah aneh. Apa menjadi menjadi imigran di negara asing selama satu bulan, membuat seseorang menambah sifat seperti itu? Maksudnya, aneh. "Ngeh, gue bukan boysholic!" Tolaknya mentah-mentah. Ia menoleh ke arah Kiki lagi dan menggelar aksi penyelidikan akan pemuda itu. "Lo aneh deh. Biasanya kalo orang mendadak aneh, pasti ada apa-apanya. Hayoo, ngaku lo? Ah, atau lo lagi..jatuh cinta yaaa?" Todongnya yang sukses membuat tawa Kiki meledak.
Jatuh cinta? Ah, tapi mungkin saja. "Gue bukan lovesholic! Siapa juga yang jatuh cinta? Adanya lo kali! Sama siapa tuh, Cakka? Cakka atau Aga? Haha.." Balasnya.
"Tuyul, dasar lo! Saudara mengalihkan pembicaraan. Berarti bener lo lagi jatuh cinta. Iya kan? Udahlah, lo gak bisa bohong sama adik lo yang manis ini! haha.."
Kiki menginjak rem pelan. Sekarang lampu merah sedang menyala. Mobilnya berhenti di belakang sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya belum dibersihkan berminggu-minggu. Kotor sekali. Ia tak menggunakan kesempatan berhenti itu untuk menoleh. Ia masih setia memadang ke depan. Yeah, i think so! Batinnya menjawab jujur. "Silahkan menduga-duga!" Serahnya sok pujangga.
Agni mengedikkan bahu. Dialog pun terhenti sampai disana. Masing-masing beralih pada fokus yang lain. Agni memperluas pandangan melihat daerah sekitarnya, dari balik kaca mobil. Kiki, ia masih sama. Masih memandang ke arah jalan raya. Lalu, pikirannya? Sepertinya, tak ada lagi yang ia pikirkan.
***
"Pulang dulu, Kak! Salam buat Kak Ify!" Pamit Dea. Ia melangkah masuk ke dalam taksi yang dipanggilnya beberapa menit lalu. Rio mengangguk dan tersenyum sekilas. Taksi yang Dea tumpangi pun dalam sekejab menghilang dari pandangan.
Tinggallah Rio kini. Ia berlari masuk ke rumah Ify kembali. Tak lain dan tak bukan hendak memastikan dimana keberadaan gadis itu. Sebelumnya, tadi Dea hendak berpamitan juga dengan gadis itu. Tapi, setelah diteriaki namanya beberapa kali, bahkan diperiksa di seluruh ruangan di rumahnya, gadis itu tak juga memunculkan diri. Pada akhirnya, Rio menyuruh Dea pulang saja. Biar nanti, dirinya yang menyampaikan kata pamit tak sampai pada Ify.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking
Teen FictionPerjodohan tidak melulu soal pasangan. Perjodohan tidak harus oleh manusia. Semua kehadiran, kepergian, pertemuan, perpisahan, peristiwa, perasaan, apapun yang terjadi dan ada di dunia ini sudah tercantum dalam list perjodohan milik Tuhan. Yang piki...