But I need you far more than I ever want you - Hard To Do***
Satu-satunya orang yang tetap tenang di tempatnya mungkin adalah Via. Horror memang bukan genre-nya. Namun, yang membuat semua hal seperti hening di sekitar Via adalah perasaan gadis itu. Mood-nya tidak sebegitu kacau. Hanya saja, ia jadi malas untuk melakukan apapun.
Ia tidak menampik kalau sekali lagi ia merasa kecewa. Ia bimbang apakah selama ini dirinya terlalu banyak bersikap legowo menanggapi setiap fenomena dalam hidupnya. Ia selalu memilih menyesuaikan diri bukan malah meminta pengertian orang lain untuk berubah agar dirinya nyaman.
Selama ini ia tidak pernah berontak terhadap ayahnya yang jarang bicara. Ia juga tidak pernah coba-coba memancing agar pria itu mau berbicara panjang lebar. Ia mencari excuse dengan menganggap Riza memang seperti itu dan dirinya juga harus mengikuti pola sikap sang ayah. Tapi ternyata, pria itu bisa ramah pada Pricilla.
Ia tidak pernah bertanya mengapa kedua orangtuanya tampak jarang berbicara lama berdua. Ia tidak pernah penasaran kenapa ia tidak pernah melihat Riza sekedar mengusap kepala atau bahu Fira. Ia pikir ayahnya memang tidak romantis dan menganggap bermesraan di depannya adalah tabu. Nyatanya Riza bisa menggandeng erat tangan wanita yang entah siapa.
Ia tidak pernah menganggap aneh mengapa Riza selalu tampak tegang dan tanpa ekspresi ketika pria itu sedang bersama dirinya dan Fira. Sekali lagi ia beralasan kalau Riza memang seperti itu. Ia tidak pernah berpikiran buruk. Nyatanya Riza bisa menampilkan wajah bahagia dengan senyum tanpa cela pada keluarganya.
Ia menerima kalau ayahnya berbeda dengan ayah teman-temannya. Namun kemudian ia sadar, ia lupa kalau Riza bukan ayahnya. Tidak, kalimatnya salah. Yang benar adalah dirinya bukan anak pria itu. Dirinya dan Fira bukan keluarga pria itu. Makanya, Riza tidak pernah bersikap yang seharusnya pada dirinya dan Fira.
Dirinya dan Fira tak lebih hanyalah orang lain di hidup Riza. Ah kalau begini, dinginnya Riza pada mereka jadi terdengar wajar. Riza bersikap dingin pada orang lain. Jadi Riza sudah memperlakukan mereka dengan benar, selayaknya memperlakukan orang lain.
See, dirinya masih saja membenarkan yang tidak lumrah.
Lalu, Gabriel. Sekali lagi ia bersikap legowo terhadap apa yang pemuda itu inginkan. Ia menyayangi Gabriel namun Gabriel tampaknya justru menyukai Zaza. Ia lalu memilih menerima dicintai Gabriel sebagai Zaza. Ia tidak menganggap aneh tindakan pemuda itu mendekatinya dan malah memilih melupakan fakta status Gabriel sudah dimiliki lantaran hatinya merasa senang.
Ia membiarkan saja Gabriel mau seperti apa atau mau 'yang mana' dari dirinya. Toh baginya Zaza atau Via itu sama saja, sama-sama dirinya juga. Tapi sayangnya pemuda itu sekarang justru terkesan mengerikan untuk Via.
Gabriel sebelumnya punya pacar lalu ditinggalkan karena Zaza. Dalam waktu yang bersamaan, Gabriel juga mendekatinya tapi kemudian memacari Zaza. Tapi setelah itu justru terang-terangan bilang sedang melakukan pendekatan padanya. Dulu ngakunya sudah berpisah tapi yang nampak di matanya sekarang justru pemuda itu bergandengan layaknya pasangan dengan Pricilla.
Ia tidak mengerti ia harus bagaimana sekarang. Haruskah ia marah? Pada Riza? Tapi bukannya sikap pria itu sudah sewajarnya? Pada Gabriel? Memangnya dirinya sudah resmi menjadi siapanya pemuda itu sehingga berhak marah? Toh, dirinya dari awal menerima, kan?
Drrt...drrt..
Via merasakan getaran tas yang terselip di antara kedua pahanya. Ia memeriksa isi dari benda tersebut dan kemudian mengernyit bingung. Salah satu ponselnya bergetar. Namun hal itu justru terjadi pada ponsel yang seharusnya tidak ada yang menghubungi, kecuali..
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking
JugendliteraturPerjodohan tidak melulu soal pasangan. Perjodohan tidak harus oleh manusia. Semua kehadiran, kepergian, pertemuan, perpisahan, peristiwa, perasaan, apapun yang terjadi dan ada di dunia ini sudah tercantum dalam list perjodohan milik Tuhan. Yang piki...