Memendam rasa ditengah gejolak rasa
***
Langit sore itu nampak cerah. Matahari yang kadang bersembunyi di balik awan berarak memantulkan sinar jingganya, tidak terlalu menyengat, terasa hangat membelai kulit. Sepasang sahabat tengah berbaring beralaskan rumput. Seakan tidak peduli seragam putih mereka nanti akan terkena noda dari tanah yang menghampar di bawah rumput.
Keduanya memandang ke arah langit, memperhatikan arakan awan yang kadang terdefinisi dalam sebuah bentuk. Kebiasaan yang sering mereka lakukan sejak kecil.
"Liat, itu bentuknya seperti mobil balap," si gadis berseru pada pemuda yang berbaring di sebelahnya dengan tangan yang terarah ke satu tujuan.
"Mana?" yang diajak bicara berusaha mencari bentuk yang dimaksud, matanya lurus dan fokus mencoba mencari, tapi matanya yang terpicing seperti isyarat kalau dia tidak berhasil menemukan awan yang dimaksud.
"Itu," si gadis masih menunjuk ke arah yang sama.
Untuk mempermudah pencarian, pemuda itu menggeser kepalanya, lebih dekat ke arah si gadis, hingga satu sisi pipi mereka saling menempel satu sama lain. Tanpa pemuda itu sadari, kedekatan seperti itu selalu berhasil memunculkan debaran aneh di jantung si gadis.
Lalu pemuda itu memicingkan mata mencoba mencari awan yang dimaksud gadis di sebelahnya.Tak lama pemuda itu tersenyum. "Ketemu," ucapnya. "Di sana liat, ada kurcaci pegang sesuatu kayak teko minuman gitu," sambungnya dengan satu pipi yang masih menempel di pipi gadis itu.
Gadis itu menoleh ke satu arah, lalu mengangguk. Tak membutuhkan waktu lama menemukan gambar yang dimaksud. Kemudian matanya liar menatap langit, mencari-cari bentuk lain yang tercipta secara alami itu. Mengalihkan debaran yang terus menggila di dalam dada.
"Udah berapa lama sih kita kayak gini?"
"Berapa lama apanya?"
"Kita udah gede masih aja ngelakuin hal konyol kayak gini."
Si gadis tersenyum. "Ini namanya quality time," jawabnya santai, namun tak sesantai jantungnya yang masih terus mendebarkan hal yang sulit dikendalikan.
"Apa kita bakal ngelakuin kekonyolan ini sampai tua?" suara pemuda iu terdengar penuh ejekan.
"Hal yang lo bilang konyol itu satu-satunya yang bisa buat gue merasa spesial. Dari kecil sampai sekarang lo selalu perlakukan gue seperti Raina, adik lo. Padahal lo tahu, gue maunya lebih dari itu."
Si pemuda memutar bola mata jengah. "Nggak usah drama lagi."
"Ini bukan drama, tapi soal hati, Yan." ucap si gadis dengan mimik serius.
Entah tidak menyadari keseriusan di wajah gadis itu atau pura-pura tidak tahu, si pemuda tertawa, penuh ejekan.
Kemudian hening melingkupi mereka.
"Kenapa lo nggak bisa suka sama gue?" pertanyaan polos si gadis memecah keheningan di antara mereka.
Pemuda itu terkesiap. Dia tidak langsung menjawab. Matanya lurus tertancap ke satu awan yang membentuk hati. Bentuk awan itu mengentakkan sesuatu di dadanya. Menekan begitu kuat, hingga yang terasa adalah rasa sesak.
Pemuda itu menangkis rasa sesak yang datang bertubi-tubi. Menarik napas sekilas, lalu bangkit dan duduk.
Pemuda itu menurunkan pandangan dan kepalanya, hingga sekarang wajahnya tepat berada di atas wajah gadis itu. Lalu tersenyum miring."Lo tuh masih kecil, nggak cocok sama gue."
"Tahun depan gue udah SMA, sama kayak lo."
"Tetep aja buat gue lo tu anak kecil." Jawabnya santai. Mengkasatkan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Bertahun-tahun lamanya, dia sudah melakukan ini. Mungkin dia adalah aktor yang baik. Berhasil menyembunyikan hatinya yang tergores.Pemuda itu menjauhkan wajahnya. Si gadis bangkit dari posisinya dan terduduk. Gadis itu menatap pemuda di sebelahnya yang kembali berbaring dengan satu kaki yang tersangga di paha kakinya yang lain.
"Apa gue nggak cantik?"
Pemuda itu menghempaskan sekilas napasnya. Satu tangannya menjangkau ilalang tinggi yang ada didekatnya, membersihkan bagian batangnya lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Suka sama lo itu sama kayak gue suka sama Raina. Nggak mungkin," sahutnya kemudian. "Lagiaannn... lo bukan tipe gue," sambungnya dengan kedua tangan yang meliuk-liuk seolah menggambarkan sebuah replika tubuh yang mirip dengan gitar spanyol.
"Lo tuh pendek, kecil, hidup lagi, kayak kurcaci," pemuda itu tertawa.
Si gadis menghela napas. Menatap langit dengan sedih.
"Sekarang lo hina-hina aja gue. Lo percaya karma, liat aja, suatu saat lo bakalan suka sama gue sampai lo kelepek-kelepek."
Pemuda itu tertawa keras dan penuh ejekan. Yang tak diketahui gadis itu, kenyataannya tak perlu menunggu karma datang, karena yang sesungguhnya terjadi adalah, hatinya untuk gadis itu, untuk gadis yang tidak akan pernah bisa dimiliki. Bahwa memiliki gadis itu adalah hal mustahil yang akan terjadi. Sampai kapan pun, cintanya tidak akan berlabuh di hati gadis itu.
***
dengan mengucap basmallah, saya publish kembali cerita ini.
dilse
kakahy
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar hati (IGNORE) [END] TELAH TERBIT
Teen FictionKanyadewi Sihandar mencintai sahabatnya sejak kecil, Adrian Narayana. Tidak peduli perasaannya diabaikan, dan tak berbalas, Anya tetap menanti sampai Adrian mau membuka hati untuknya. Namun pertemuannya dengan Kemal Satyangkara, pelatih karate di...