IGNORE - Empat

5.5K 528 9
                                    

Kamu tahu karet, kan? Kamu persis seperti karet. Meskipun sudah diikat, tapi tetap saja bebal. _Kemal Satyangkara_

※※※

Setelah mata kuliah pertama selesai, Kei dan ketiga orang temannya menuju kantin kampus. Sementara teman-temannya langsung mengantri mengambil makanan yang disediakan secara prasmanan, Kei hanya memesan minuman.

Dia sudah sarapan di rumah pagi tadi. Lagipula dia tidak terbiasa membeli makanan di luar rumah. Sejak kecil, kebiasaan itulah yang ditanamkan sang nenek, hal itu terus terbawa hingga sekarang, bahkan saat dia memutuskan tinggal seorang diri di Jakarta.

Tidak ada yang merepotkan karena harus memasak sendiri. Lagi-lagi karena terbiasa melihat dan membantu neneknya memasak.

Kei memang cukup dekat dengan neneknya karena sejak dilahirkan ke dunia, neneknya itulah yang merawat dan membesarkannya meski ibu kandungnya masih ada.

Ketiga temannya sudah menyusulnya duduk di salah satu meja kantin berkursi memanjang yang tersedia dengan membawa piring berisi makanan masing-masing. Sekilas dia mendengar Tedy dan Wira masih asyik membahas topik yang mereka perdebatkan sejak keluar dari kelas masing-masing.

Sejak dibangku SMA, mereka memang kerap berdebat untuk topik apa pun, mulai dari hobi, politik, bahkan hal-hal sepele mengenai siapa yang duluan lahir antara telur dan ayam.

"Bullshit kalo lo bilang cantik itu nggak penting," semprot Tedy setelah memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.

"Gue nggak bilang cantik itu nggak penting, tapi sekarang zaman udah canggih, muka bisa dipermak," cowok berkacamata yang duduk di sebelah Kei, sama kekeuhnya dengan Tedy.

“Woi, makan tuh makan aja, nggak usah ngebacot, jigong lo berdua muncrat kemana-mana nih.” Semprot Liam. 

“Noh, lo tanya deh sama pakar percintaan level ikan asin,” Tedy menunjuk Liam.

“Li, menurut lo bagusan mana, cewek cantik otak pas-pasan atau cewek jelek tapi pinter?” Wira melontar pertanyaan.

Sesaat Liam memandang Kei yang sedang menunduk menatap layar ponsel. 

“Ya cewek cantiklah!” seru Liam kemudian.

“Tuh!” Tedy menjentikkan telunjuknya karena mendapat satu dukungan suara dari teman seperkumpulan mereka.  

Wira berdecak. Tedy dan Liam setali tiga uang, jadi wajar kalau isi otak mereka nyaris serupa. 

“Lagian ya, Wir, kalo dipermak, udah jelas tampangnya nggak original. Ya kan, Li?”

Liam mengangguk.

Wira mencebik. "Pernah dengar the power of make up nggak sih?"

“Bener juga, sekarang make up bisa bikin cewek jadi keliatan cantik. Tapi ya gitu, begitu make upnya dihapus, aslinya zonk!” Liam menambahkan. 

“Itu dia maksud gue, permakkan, nggak original. Kalo aslinya cantik mah nggak usah diapa-apain, mukanya tetep asyik.”

“Tapi kalo dongo? Tampangnya jadi nggak guna, tahu.” Wira menaikkan kacamatanya yang melorot karena antusias membahas topik itu.

“Otak kan bisa diasah biar pinter. Tapi kalo muka, ada gitu diamplas tiap hari mukanya berubah jadi cantik,” ucapan Tedy itu langsung disambut gelak tawa oleh Liam.

Wira melengos sambil melirik Kei yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan percakapan itu.

Pembahasan soal cewek cantik tapi bego versus cewek pintar tapi jelek, yang akhirnya tidak menemui kesepakatan, terhenti ketika Liam menunjuk ke arah pintu masuk kantin.

Mengejar hati (IGNORE) [END] TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang