Kepercayaan itu mahal. Ketika dirimu mendapatkannya, genggam begitu erat dan jangan kecewakan mereka. _Kanyadewi Sihandar_
※※※
Di luar perkiraan, ketika Anya sampai di rumah, Ayah sama sekali tidak semarah yang Anya pikirkan. Laki-laki itu bahkan tidak bertanya apa-apa. Tanpa diminta Anya sendirilah yang menjelaskan alasannya tidak ada di tempat saat Adrian menjemputnya, dengan sedikit mengeluarkan kemampuannya di pelajaran Bahasa Indonesia, mengarang bebas.Setelah mendengarkan penjelasan Anya, ayah tidak mengatakan apa-apa, malah menyuruhnya untuk beristrahat.
Meski lega karena terbebas dari kemarahan sang ayah, tapi kebungkaman ayah ini menerbitkan rasa tidak nyaman di hatinya. Entahlah dia merasa masalah ini belum selesai.
Keesokan paginya, rasa tidak nyaman itu makin bertambah saat dia tidak menemukan kunci motornya tergantung di samping meja belajarnya, tempat biasa dia meletakkan benda itu. Anya yakin, terakhir kali dia meletakkan benda itu di sana. Anya bukan pelupa seperti Fira atau seceroboh Juli yang meletakkan barang-barang penting disembarang tempat. Anya mencoba mengingat-ingat kembali, mungkin saja dia memang lupa.
Anya kembali mengaduk-aduk isi kamarnya, benda itu tetap tidak ditemukan.
Sambil membawa tas sekolahnya, Anya keluar kamar, turun menuju dapur, tempat dimana ayahnya sekarang berada.
“Ayah, lihat kunci motorku?” tanya Anya pada ayahnya yang sedang berdiri di depan kompor.
Bayu tidak menjawab.
Anya tidak tahu apakah ayahnya memang tidak mendengar suaranya atau pura-pura tidak mendengar.
Setelah meletakkan tas sekolah di kursi meja makan, dia menghampiri laki-laki itu, lalu berdiri disebelahnya. Anya mencoba berpositif thinking, mungkin ayah memang tidak mendengar karena terlanjur berkonsentrasi dengan masakannya.
“Ayah lihat kunci motorku? Di kamar nggak ada, kayaknya aku mulai pikun deh, ntar pulang sekolah aku cari lagi, tapi sekarang pinjem duplicatenya dulu ya, Yah.”
“Mulai hari ini kamu akan dianter dan jemput ke sekolah oleh Adrian.”
Perkataan ayah itu langsung membuat Anya tercenung sambil menatap sup yang sedang dimasak ayahnya.
Benar saja dugaan Anya, masalah kemarin memang belum selesai. Anya kenal ayahnya, ketika dalam masalah dan ayahnya hanya diam, justru itu adalah pertanda buruk.
Kebungkamannya berarti setelah itu tidak ada kompromi untuk setiap keputusan yang telah laki-laki itu buat.
“Kenapa gitu, Yah? Sekolahku kan beda arah sama sekolah Rian?”
“Ayah udah tanya Rian, dan dia nggak keberatan. Bukan cuma ke sekolah, mau kemana pun kamu pergi, dia yang akan mengantar.”
“Rian kan juga kerja di studio ayah, apalagi sekarang dia kelas dua belas pasti jadwalnya makin padat. Kalo misalnya harus nganterin aku kemana-mana, kan kasian.”
“Mulai hari ini ayah sudah membebastugaskan dia dari pekerjaan di studio. Sekarang mengantar kamu adalah pekerjaannya.”
Serius, kalau saja keputusan ini dibuat tiga bulan yang lalu, Anya yakin saat ini pasti dirinya akan menerimanya dengan suka cita. Tapi sekarang, keputusan ayah itu terasa memberatkan. Kehadiran Adrian akan membuat pergerakannya menjadi terbatas. Ditambah lagi, dia tidak akan bisa bertemu Kei dengan leluasa seperti sebelumnya, dan kencan satu harinya dengan Kei, sudah pasti terancam gagal.
“Sampai kapan, Yah?”
“Nggak ada batas waktu, itu berlangsung sampai seterusnya.”
Anya menunduk menatap kedua kakinya yang dibalut kaus kaki putih sebatas betis. Tanpa disadarinya, Bayu memperhatikan Anya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar hati (IGNORE) [END] TELAH TERBIT
Teen FictionKanyadewi Sihandar mencintai sahabatnya sejak kecil, Adrian Narayana. Tidak peduli perasaannya diabaikan, dan tak berbalas, Anya tetap menanti sampai Adrian mau membuka hati untuknya. Namun pertemuannya dengan Kemal Satyangkara, pelatih karate di...