Meski seluruh kecewa sudah dipertaruhkan, apa bisa seorang anak membenci orangtuanya? _Kanyadewi Sihandar_
※※※
"Anya, pulanglah. Ayah mohon..." itu suara ayahnya. Bicara dengan wajah dan suara memelas.
Begitu sadar Anya tidak berada di rumah, ayah langsung menyusulnya ke rumah Bunda, dia datang pagi-pagi sekali, memohon-mohon padanya untuk kembali ke rumah.
Kalau saja kalimat penuh nada permohonan itu ia dengar tidak dalam situasi seperti ini, mana Anya tega tidak menghiraukannya. Tidak usah begitu, membayangkan adegan Ayah meminta dengan wajah memelas saja akan membuat dia merasa seperti anak durhaka.
Tetapi ini berbeda. Seakan dia menganggap ini hukuman paling wajar yang bisa seorang anak lakukan pada ayahnya.
Masalahnya setelah tahu cerita lengkapnya dari Nenek Gelda, niat Anya untuk tinggal di rumah Bunda jadi semakin bulat. Bahkan dia tidak perlu merasa repot untuk mengemasi pakaiannya di rumah ayahnya itu. Sepulang dari Bandung, Anya langsung minta diantar ke rumah bunda. Dia tidak lagi peduli pada pertanyaan yang pasti menggerayangi kepala bunda ketika melihatnya datang subuh-subuh.
Pada perempuan itu, dia hanya berkata singkat, bertengkar hebat dengan ayah, lalu Anya marah dan untuk saat ini tidak ingin bertemu dulu. Saat itu bunda tidak bertanya lebih lanjut, langsung menyuruhnya beristirahat di kamar. Namun Anya bisa melihat ada ketidakpuasan di dalam sorot mata perempuan itu. Anya sedikit lega ketika tidak dipaksa berkata jujur. Dia tidak tahu apakah bunda sudah mengetahui masa lalu ayah. Anya berharap, bunda tidak pernah tahu.
Karena tidak terpikir untuk mengambil seragam sekolah dan buku-buku pelajarannya, hari ini Anya belum masuk sekolah. Sudah empat hari dia tidak masuk. Beberapa kali Juli dan Fira mengirimkan chat sakadar bertanya kapan dia akan masuk kembali. Anya belum membalasnya sampai hari ini. Dan siang ini, Anya berencana meminta Bi Sumi mengirimkan seragam dan buku-buku pelajarannya ke rumah bunda.
"Anya," panggilan lemah itu mengembalikan perhatiannya pada laki-laki yang kini berdiri dengan wajah frustasi di dalam kamarnya. "Ayah harus apa, biar kamu mau pulang?"
Anya memalingkan wajahnya ke luar jendela, tidak mau terlalu lama menatap laki-laki itu, karena takut hatinya akan terenyuh. Ngomong-ngomong soal apa yang dia inginkan, dia jadi teringat harus membicarakan soal Kei pada ayahnya.
Bayu mendekati Anya karena tidak mendapat jawaban. "Kamu mau tahu kejadian dua puluh satu tahun itu, kan?" tanyanya dengan suara yang semakin terdengar menyayat di hati, sebenarnya. "Oke, ayah beritahu. Apa yang mau kamu tahu, akan ayah ceritakan semuanya."
Anya mengembuskan napas. Menguatkan diri agar menahan diri untuk memeluk ayahnya saking besarnya pengaruh laki-laki itu dalam hidupnya. Namun Anya menekan perasaan sentimental itu, gantinya diangkatnya egonya tinggi-tinggi.
"Terlambat. Aku udah tahu semuanya."
Bayu terkejut. Sedetik kemudian wajahnya kembali seperti semula, sarat kesedihan.
"Aku bakal pulang, tapi dengan satu syarat." Katanya cepat-cepat. Semakin cepat dia menyelesaikan pembicaraan ini, resiko terenyuh juga semakin kecil.
"Minta apa aja yang kamu mau."
Anya menoleh pada ayahnya. "Urungkan niat ayah untuk laporin Kei ke polisi." Begitu selesai bicara, dia kembali membuang pandangan ke luar jendela.
Hening kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar hati (IGNORE) [END] TELAH TERBIT
Teen FictionKanyadewi Sihandar mencintai sahabatnya sejak kecil, Adrian Narayana. Tidak peduli perasaannya diabaikan, dan tak berbalas, Anya tetap menanti sampai Adrian mau membuka hati untuknya. Namun pertemuannya dengan Kemal Satyangkara, pelatih karate di...