Barber Chat

374 17 4
                                    

Rrrr...
Pangkas Rambut Asgar. Di dalam ruko itu tiga anak yang masih berseragam SMA duduk menunggu tiga orang lain yang sedang dicukur.

"Dim, mau cukur rambut juga?" tanya salah satu anak memecah kesunyian.

"Nggak. Mau les balet di sini...ya kali, Ko," jawabnya ketus. "Ini kumis mau dicukur. Udah mulai panjang dan gue nggak berani cukur sendiri. Trauma dapet 3 jahitan."

"Kalo lo, Ndi?" tanya Riko.

"Ini mau nyukur bulu ketek. Udah sampe ngelewatin lengan kemeja soalnya. Hampir ke siku."

Gubrak! Dimas dan Riko terjungkir dari bangku. Idih, geleuh pisan.

Rrrr...

"Lama ya," keluh Dimas.

"Iya, seperti update cerita kita ini. Kalau tidak salah sudah hampir sebulan sejak cerita terakhir dibuat," jelas Andi.

"Maklum ya, penulis cerita ini amatir. Kualitas tulisan ini juga menurut gue nggak akan menang lomba cerita tingkat SD. Awalnya dia nulis katanya buat belajar dari komentar pembaca, tapi boro-boro ada yang komentar di tulisannya, yang baca aja paling nggak sengaja buka cerita ini saking nganggurnya atau kasian sama yang nulis melihat jumlah pembacanya sedikit," sambung Riko.

"Hmm...begitu ya. Iya juga, sih," sahut Dimas setuju. "Tapi gue penasaran bagaimana nasib kita kedepan. Menurut kalian?"

"Maksudnya?" tanya Andi balik.

"Maksudnya apa kita akan seperti Shinnosuke, Nobita, dan Edogawa yang tidak naik kelas puluhan tahun itu?"

"Kalau dilihat dari judulnya, sepertinya begitu. Tidak mungkin kan Keseharian Siswa SMA menceritakan kisah anak kuliahan," jelas Riko.

"O," Dimas ber-o.

"Tapi kalau menurut gue nggak, kok. Kita nggak akan sampai puluhan tahun di SMA," koreksi Andi.

"Jadi kita akan naik kelas?" tanya Dimas. Riko yang penasaran juga ikut memperhatikan.

"Bukan, maksudnya cerita seri ini menurut gue umurnya nggak akan sampai puluhan tahun. Setahun juga gue nggak yakin. Model beginian mah jaman sekarang nggak laku," jelas Andi.

"Haa...bener juga," sahut Andi dan Dimas setuju.

Sedetik kemudian tiga siswa SMA itu tertunduk menyadari nasib yang menimpa mereka. Pesimis. Hancur oleh pemikiran sendiri.

Rrrr...

"Hmm...lama banget ya," gantain Andi yang mengeluh kali ini.

Rrrr...
Kres!

"Bunyi apa tuh?" tanya Riko sambil celingukan mencari asal suara.

"Kuaci. Mau?" Dimas menyodorkan bungkus kuaci ke sohibnya itu. "Tapi sampahnya kantongin ya kalo mau."

"Nggak, makasih. Males ngupas cangkangnya," jawab Riko.

Rrrr...
Kres!
Tak!

"Apa tuh?" Riko celingukan lagi.

"Kacang. Mau?" Andi menyodorkan bungkus kacang.

"Repot ah," jawab Riko didukung dengan gelengan kepala.

Rrrr...
Kres!
Tak!
Krak! Krauk! Krauk!

"Apaan tuh?" Dimas dan Andi menengok ke arah Riko.

"Kepiting. Mau?"

"Buka dulu cangkangnya!!!" Keletak! Dimas dan Andi memukul kepala Riko dengan gulungan koran.

"Selanjutnya!" teriak Bapak tukang cukur.

Tiga kursi cukur kosong bersamaan. Riko yang terjungkang langsung berdiri dan menduduki salah satu kursi diikuti Andi dan Dimas di kursi lainnya.

Tiga orang bapak tukang cukur berdiri di samping mereka dan bertanya pertanyaan klasik yang sama: "Mau dicukur bagaimana?"

"Biasa!" jawab tiga siswa SMA jtu bersamaan.

Pats! Tiba-tiba lampu padam. Tetangga dari ruko sebelah masuk dan mengatakan kalau Pak RT bilang pemadaman ini akan memakan waktu lima jam.

Krak! Krauk! Krauk!

Tiga orang siswa SMA itu menangis, nyengir, sambil makan kepiting di atas kursi cukur.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang