Tiga Cara Turun dari Bis Kota

150 10 6
                                    

Siang itu cuaca cukup terik. Seorang om-om bule berambut panjang dikuncir berjalan ke sebuah halte bis. Sambil menggendong ransel yang cukup besar di punggungnya, dia berjalan sambil sesekali menggaruk hidungnya yang mancung mirip paruh beo.

Si Om Bule mengambil peta dari saku kemejanya dan membukanya. Dia memutar peta itu beberapa kali lalu memasukkannya kembali ke sakunya. "Oh my god, I think I am lost!" kata Om Bule sambil menepok jidatnya.

Melihat beberapa orang anak SMA di halte, Om Bule mencoba mendekati mereka. Harapan Om Bule hanya satu, anak-anak itu bisa mengerti perkataannya dan memberitahunya cara ke tempat tujuannya. Beginilah kalau kamu jalan-jalan ke negeri orang tanpa belajar bahasanya, susah baliknya kalo kesasar.

Kebetulan yang ada di halte itu adalah anak-anak dari SMA Segitiga Biru. Ya kalo bukan mereka ceritanya nggak akan masuk ke sini kan. Ada Riko, Acong, Cipcip, dan Nina yang karena satu dan lain hal lagi duduk nunggu bis kota.

"Excuse me, I think I am lost. Could you tell me how to go to Hotel Belimbing?" tanya Om Bule.

Ngeliat ada Om Bule yang tiba-tiba nongol, para siswa SMA itu kaget. Nina terpaku melihat makhluk yang agak lebih kece darinya, Acong bingung karena nggak bisa Bahasa Inggris, sedangkan Cipcip diam seperti biasanya. Dengan terpaksa Riko yang nilai Bahasa Inggrisnya pas KKM mencoba menjawab, "Excuse you. If you go to Hotel Belimbing, you can use the bus. Wait sebentar here. Kebetulan we also want to go near there."

"Oh ok... thank you," jawab Om Bule yang langsung duduk di bangku halte dengan muka sumringah.

Acong, Cipcip, dan Nina bertepuk tangan. Riko yang merasa berjasa merasa malu dan garuk-garuk kepalanya yang nggak gatel. Mereka pun kembali duduk sambil harap-harap cemas menunggu bis. Duile udah kaya nunggu balasan surat cinta aja!

Beberapa detik kemudian sebuah bis berwarna putih muncul dari pengkolan. Bis yang terlihat udzur itu berjalan sempoyongan sambil mengeluarkan asap hitam, mirip cumi-cumi kepala kota. Emang ada ya? Setelah bis berhenti, para siswa SMA dan Om Bule naik.

Bangku di dalam bis kota itu sudah terisi penuh. Mereka berlima terpaksa berdiri di lorong bagian depan. Untungnya, kondisi bis tidak seperti biasanya yang isinya padat mirip ikan kalengan.

Di dalam bis kota selalu banyak cerita. Ada siswa SMA, Om Bule pengembara, kakek-nenek yang masih mesra, sampai tukang keris yang baca-baca mantra pun ada. Pokoknya bayar goceng nggak rugi deh. Anggap aja nonton opera berjalan.

"Eh, Ko, lu kok tumben naik bis? Nggak bareng Dimas sama Andi?" tanya Acong kepo.

"Gue mau ke Margonda nyobain challenge Bakso Gulat," jawab Riko.

"Oh challenge yang ngabisin bakso jumbo itu ya. Lu lagi butuh hepeng ya? Bilang dong ke gue!"

"Bukan, Cong. Gue mau ngalahin challenge itu buat ngebuktiin kalo Karate lebih baik dari gulat," jawab Riko. Acong yang denger jawaban gituan langsung manyun. "Lu sendiri tumbenan nggak naik motor jagur lu. Kenapa, Cong? Ilang?"

"Oh, enggak. Motor gue dipinjem sama si Dilan buat nganterin Mile..."

"BODO AMAT!" potong Riko. Acong cengar-cengir.

Satu per satu penumpang turun dari bis. Pak sopir juga sempat ikut-ikutan turun tapi ditarik lagi sama penumpang yang masih di bis. Latah dia ceritanya. Dengan beberapa kursi yang kosong, akhirnya Riko, Acong, Nina, Cipcip, dan Om Bule bisa duduk. Tinggal satu orang bapak yang nggak bisa duduk, bukan karena nggak ada kursi kosong sih tapi karena ambeien. Halah.

"Riko, there is something I am curious about. What exactly should we do when we want to ask the driver to stop the bus? I see no button here and the passengers were doing different things to ask the driver to stop," tanya Om Bule penasaran.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang