Sontek

306 13 0
                                    

Dari pagi-pagi buta Ambon dan Acong sudah datang ke sekolah. Sebenarnya mereka berdua bukan anak rajin sih, maka setiap kali mereka datang sepagi itu merupakan suatu pertanda akan datangnya badai besar di 11 IPS 2. Badai ulangan.

Kebetulan ulangan hari itu adalah ulangan mata pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di kelas IPS itu ya susah-susah gampang. Susah-susah belajar gampang dapet nilai jebloknya. Miris kan?

Ketambahan lagi sama guru killer yang mengajarnya, Pak Parno. Satu alasan yang cukup untuk paranoidnya anak-anak IPS setiap kali ada ulangan. Selain namanya, Pak Parno juga ditakuti karena daya tahannya dalam berdiri memperhatikan anak-anak selama ulangan berjam-jam tanpa ngantuk.

Bergaya bak debt collector dan yakuza, Ambon dan Acong menyatroni 11 IPS 1 yang kebetulan sudah ulangan kemarin untuk meminta kunci jawaban. Tanpa mereka duga ternyata di sana sudah ada banyak teman sekelas mereka yang datang lebih pagi...dengan motif sama. Akan tetapi seperti biasa, ada wajah-wajah yang langganan tidak ikutan.

Tiga jam kemudian!

Pelajaran Sejarah dimulai. Semua siswa 11 IPS 2 duduk di tempat dengan tegap layaknya tentara yang siap menerima komando. Dari luar terdengar suara tabuhan genderang yang dimainkan anak-anak ekskul marching band. Sepertinya mereka lagi intensif latihan sebelum lomba.

"Anak-anak, ingat kata Bung Karno!" buka Pak Parno.

"Interupsi Bung Karno!" ceplos Rehan sambil mengangkat tangan, mengikuti aksi para pengacara di salah satu acara ti-pi.

"Itu Bung Karni!" koreksi Ambon agak sewot.

"Ehem... jas merah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah! Ulangan kali ini selain soal dari pelajaran lalu, Bapak juga menambahkan soal acak dari bab lainnya. Mengerti?" sambung Pak Parno.

"Siap, mengerti!" jawab para siswa kompak.

Pak Parno membagikan soal sambil sesekali memelintir kumisnya yang koprol. Lembar demi lembar soal mendarat di meja masing-masing siswa. Di ujung tiap kertas terlihat ada bagian yang agak berlendir bekas liur. Alhasil sebagian anak tanpa sadar memegang sisa liur Pak Parno tersebut sementara yang lain mengenakan sarung tangan. Halah...

"Silakan dimulai!" seru Pak Parno di depan kelas.

Semua siswa terlihat langsung memulai pengerjaan ulangan hari itu. Sebenarnya cuma gestur aja sih. Faktanya kebanyakan mereka cuma nggeletakin tangan di atas kertas soal dan digoyang-goyang. Dasar ya.

Pak Parno yang berdiri tegap laksana Jendral Kelas memperhatikan setiap anak. Seperti tipikal guru pada umumnya, pusat suudzonnya adalah meja-meja paling belakang yang dihuni anak-anak berwajah suram.

"Aduh!" tiba-tiba Pak Parno memegang perutnya. Mukanya udah nggak kontrol. Namun kemudian Pak Parno kembali memperhatikan walaupun sepertinya agak tidak fokus.

"Wah kayanya obatnya kadaluarsa, nih. Udah nggak ngefek. Amsiong!" keluh Acong. Usut punya usut ternyata sejam lalu Acong datang ke ruang guru dan menabur obat pencahar di kopi yang menjadi rahasia kekuatan mengawasi Pak Parno. Cuma dasar pelit, itu obat dia ambil dari simpenan kakeknya jaman Warkop awal debut dulu.

Rencana gagal, masih ada rencana cadangan. Ambon yang duduk di samping saklar lampu tiba-tiba metikan lampu. Dalam lampu yang hidup-mati itu Andi berdiri dan memotret ke arah Pak Parno dengan flash berkali-kali.

"Lho, ada apa ini?" tanya Pak Parno bingung. Tiba-tiba pandangan beliau menjadi semakin kabur. Semua terlihat putih. Beliau tetap berpura-pura memperhatikan masing-masing siswa meskipun pandangannya kabur, sementara para siswa juga masih berpura-pura mengerjakan meskipun tau berkurangnya pandangan Pak Parno.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang