Tangisan di Perpustakaan

166 6 8
                                    

"Yap, buku udah beres semua. Sekarang tinggal ke markas," kata Dimas siang itu.

Dari jauh Rehan berjalan mendekati Dimas yang mau beranjak dari mejanya. Kayaknya anak itu mau nanyain sesuatu ke Dimas kali ini. Dari pagi sebenernya Dimas udah ngeliatin itu anak nanya sesuatu ke temen-temen sekelas tapi belum ke dia, sehingga dia takut jadi siswa yang terlupakan. Duile baper.

"Dim, gue mau nanya..."

"Waduh...asemele! Han, sorry gue cabut dulu ya! Lu chat aja ya mau nanya apa!" kata Dimas yang langsung ngacir kaya road runner. Bukannya apa-apa, ternyata tadi Dimas ngeliat Anna lagi ngelongok nyariin dia di pintu kelas. Untung aja ada jendela bolong di sisi lain kelas yang bisa dipake Dimas buat kabur ke halaman belakang.

BRAK! Klek.

"Kenapa lu, Dim?" tanya Andi. Karena udah selesai tugas duluan, dua siswa ajaib itu udah tiba lebih awal di ruang klub alias markas mereka.

"Udah kaya orang kesetanan aja, lu!" sambung Riko.

"Ini lebih seremh dari setanh, sobh! Udah nggak usah dibahas, deh!" jawab Dimas menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Dimas masih ngos-ngosan. Tau kan ngos-ngosan? Itu lho, kamar sewa yang biasa dihuni mahasiswa! Yee itu mah kos-kosan. #okeskip

"Ngemeng-ngemeng soal setan, barusan kita dapat misi baru nih dari warga bawah," jelas Riko.

"Apaanh?" tanya Dimas.

"Tadi Bu Kuku yang jaga perpus minta kita ngebasmi hantu. Katanya waktu dia dua hari lalu malam-malam datang ke perpus karena Photo Book Supir Juniornya ketinggalan, dia denger ada suara perempuan nangis di perpus. Karena itu dia jadi parno sampe sekarang," jelas Andi.

"Jadi sekarang Bu Kuku jadi Bu Parno?" tanya Dimas belom konek.

"Yee bukan itu! Paranoid maksudnya. Ketakutan berlebihan sampe kebayang-bayang gitu," jawab Andi.

"Terus yang lebih parah lagi, kata Bu Kuku bukan cuma dia yang denger. Mang Acil yang giliran jaga malam juga denger," jelas Riko. "Bahkan menurut Mang Acil bisa jadi itu siswi teladan SMA ini yang meninggal sepuluh tahun lalu karena sakit. Mungkin arawahnya jadi penasaran dan menghantui perpus karena waktu hidup dia nggak bisa menyelesaikan SMAnya," lanjutnya.

"Waduh! Kok serem ya?" seru Dimas.

"Iya, kan! Kita yang idup aja jarang-jarang ke perpus belajar, masa dia yang udah meninggal masih penasaran sampe gentayangan di perpus? Serem jadi siswa teladan, ih!" kata Andi. Riko dan Dimas cuma ngeliatin dengan mata sebel. "Eh, bukan itu ya? Hehe," kata Andi nyadar.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras sore itu. Para siswa pun berhamburan keluar sekolah. Bagi mereka yang tidak bawa payung, pilihannya hanya menunggu atau hujan-hujanan.

Suara gemuruh terdengar di langit seperti tabuhan gendang topeng monyet. Sore menjadi petang. Markas SMA kala itu menjadi gelap dan suasana di sekitarnya sepi karena semua siswa berkumpul di sekitar gerbang. Tiga siswa itu pun duduk melingkar di lantai sambil menyalakan senter.

"Tunggu... berarti perpus kita berhantu, dong..." kata Dimas dengan muka serius yang disenter. Andi dan Riko manggut. "Kok kalian nggak kaget?" tanya Dimas.

"Kenapa?" tanya Riko. Andi juga cuma garuk-garuk dengkul, mikir. Maklum lah ya kita tau dimana otak mereka bertiga.

"Perpus ada di mana?" tanya Dimas.

"Bawah ruangan kita," jawab Andi.

"Kita ada di mana?" tanya Dimas lagi.

"Di ruangan kita. Di atas perpus..." jawab Riko. Ketiga siswa SMA itu pun garuk dengkul beberapa saat.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang