Tawur Bag. 1 : Kamera

252 10 0
                                    

Andi dan kamera tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana gula dan semut, di mana ada Andi di sana ada kamera. Mulai dari kamera digital mini sampai kamera DSLR guede bergantian gelayutan di lehernya setiap hari.

Andi selalu membawa kamera ke mana pun dia pergi sampai-sampai ada yang menjulukinya tukang poto keliling. Andi sendiri nggak peduli dengan julukan itu. Toh dia nggak pernah narik bayaran tiap ngambil foto orang, walaupun kalau ada yang ngasih ya diembat juga sih.

Dia merasa bangga dengan kamera yang dibawanya dan bagaimana dia bisa menangkap momen-momen berharga yang bisa semua orang lihat di masa depan. "Suatu saat nanti bahkan foto lu yang lagi ngupil pake jempol kaki ini bisa jadi sesuatu yang bikin lu nangis," Andi menunjukkan foto yang masih anget baru dicetak ke Riko.

"Nangis pasti. Soalnya gue di masa depan mungkin bakalan lupa kalo sebenarnya gue yang di foto itu lagi latihan kelenturan kaki buat ujian karate," sahut Riko sambil nendang batu kecil di jalan.

"Lebih nangis lagi kalo nanti lu jadi orang tenar, terus foto itu viral dan bikin lu jadi bahan meme, Ko. Kaya foto si YongLek yang 'makan, bang' itu. Hihihi," sambung Dimas sambil berlari kecil ke lampu jalanan untuk melihat jam tangan. "Ayo sob, udah kemaleman, nih!"

Meskipun kelakuannya koplak, tapi ada cerita yang cukup dalam soal kebiasaan membawa kamera Andi itu. Kamera itu adalah sesuatu yang mengingatkannya pada Mbah Kung (Kakek) yang sudah lama meninggal. Karena kamera itu juga Andi bisa bersahabat dengan kedua sohibnya saat ini (meskipun sepertinya dia jadi ketularan koplak).

Waktu itu Andi masih kelas 3 Sekolah Dasar. Dia sekolah di Sekolah Dasar Satu Negeri, disingkat SDSN. Walaupun namanya mirip girlband Korea, tapi sekolah itu adalah salah satu sekolah favorit di daerahya. Banyak anak-anak pintar yang jajannya bisa Mang Donal atau Kentang Aki Fried Chicken setiap istirahat.

"Mbah Kung, kenapa sih Mbah Kung suka dengan kamera?" tanya Andi kecil yang baru menaruh tas di meja belajarnya. Saat itu Mbah Kung sedang membersihkan kameranya sambil memandangi foto-foto yang berjajar di atas rak kayu jati di sisi ruang tamu.

Mbah Kung menghampiri Andi dan mendudukkannya di pangkuan. "Kamera ini alat yang canggih. Dia bisa menangkap gambar yang ada di depannya. Karena kamera ini juga Mbah Kung bisa menyimpan foto-foto teman-teman Mbah Kung yang sudah tidak ada, juga Mbah Putri yang sudah mendahului kita," jelas Mbah Kung.

"Kalau begitu, Andi mau diajari memakai kamera dong. Andi mau menyimpan foto Mbah Kung supaya bisa menemani Andi terus seperti foto teman-teman Mbah Kung."

"Bukan begitu, leh. Kamu harus tetap mencari banyak teman yang bisa kamu foto. Sip?" tanya Mbah Kung.

"Em..." Andi yang tidak punya banyak teman di sekolah karena merasa kurang bisa bergaul dengan anak-anak elit di sana merasa ragu, "Sip deh, Mbah. Hehe..."

"Sini, kamu pegang begini, lihat lewat sini, arahkan ke yang ingin kamu potret, lalu kamu pijit tombol ini," dengan sabar Mbah Kung mengajari Andi. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Andi bisa menggunakan kamera tua Mbah Kung itu.

Cekrek! Foto bagus pertama diambil oleh Andi. Di sana ada Mbah Kung yang memakai kaos dan sarung sedang duduk di atas kursi goyang dan sedang tersenyum melihat tingkah cucunya. Mbah Kung masih terlihat ceria meskipun beliau sakit-sakitan.

Beberapa hari kemudian, Mbah Kung meninggal dunia secara mendadak. Andi yang sangat sayang dengan mbahnya sangat sedih. Karena tidak terlalu pandai bergaul, Andi tidak punya teman di sekolah. Hanya Mbah Kung yang setiap hari menemaninya bermain saat Mama dan Papanya bekerja.

Prak! Celengan semar dari tanah liat pecah berserakan. Andi memunguti satu per satu uang yang berceceran di lantai. Dimasukkannya semua uang itu ke saku celana lalu diambilnya roll film dari kamera Mbah Kung.

Andi ingin mencetak foto Mbah Kung yang diambilnya beberapa hari lalu supaya beliau bisa terus menemaninya. Ditengah ramainya tamu yang masih berduyun-duyun melayat ke rumah duka, Andi berlari ke luar rumah. Dia berlari ke studio foto di dekat sekolahnya. Studio yang dulu pernah ditunjukkan Mbah Kung dari dalam mobil sebagai tempat mencetak roll film menjadi foto.

Dalam perjalanan ke studio cuci foto, Andi melewati sebuah komplek. Di sana dia melihat lima anak Geng Genji dari SD 7. Geng Genji sudah terkenal di lingkungan sana sebagai anak-anak bandel yang suka memalak uang jajan anak SD lain. Rata-rata mereka kelas 5 SD. Sudah banyak anak dari berbagai sekolah yang mencoba melawan namun semuanya kalah. Maklum, yang mencoba anak TK semua. Hihihi.

Enam orang anak SD super tengil dan kepedean itu langsung menghentikan Andi ketika dia yang masih berseragam lewat. "Oy, anak SDSN ya? Lu mau ke mana?" tanya seorang dari mereka.

"Mau ke studio," jawab Andi gugup. Sontak dia memegang saku celananya, takut mereka meminta uang tabungannya untuk mencetak foto Mbah Kung.

"Ciee megang apa tuh? Sini serahin ke kita!" bentak anak lain.

"E... ini... itu... anu... koleksi e-ek kucing. Jangan nanti tangan kalian bau," jawab Andi mencoba berbohong.

"Wah, kebetulan gue ngoleksi e-ek kucing juga! Sini!" tanya anak bertompel dari Geng Genji.

"Idih jorok amat lu!" seru teman-temannya kaget.

"Aduh, lu pada bego ya! Gue nggak serius lah. Gue tau itu dia nyumpen uang jajan di kantongnya," jelas anak itu ke teman-temannya. Mereka pun manggut-manggut. "Sini serahin uangnya ke kita! Pilih uang atau bonyok?"

"Pilih 'ask the audience' boleh?" jawab Andi agak bercanda.

"Yee, si klimis songong. Udah kuat?" anak yang agak tinggi mengepalkan tinju ke arah Andi. Andi yang ketakutan mencoba lari dari mereka ke arah lain.

"Woy, kejar!" teriak salah satu dari mereka. Mereka pun bersama-sama mengejar Andi.

Aksi kejar-kejaran pun tak terelakkan. Andi mencoba berlari sekuat tenaga. Sesekali dia menjatuhkan tempat sampah yang dilewatinya tapi Geng Genji berhasil melompati semua halangan tersebut. Ketika melewati anjing liar mereka semua berjalan normal, lalu kejar-kejaran kembali berlanjut ketika anjingnya sudah agak jauh.

Andi yang memang kurang bagus dalam olah raga itu mulai kelelahan. Tiba-tiba kerah kemeja seragam Andi ditarik dari belakang hingga dia jatuh. Rasa sakit dia rasakan di sekujur tubuhnya yang membentur aspal. Beberapa uang koin menggelinding keluar dari saku celananya.

"Akhirnya ketangkep juga ini anak klimis. Ayo teman-teman, ambil uangnya!" anak-anak Geng Genji itu menggeledah Andi. Dengan sisa tenaga, Andi mencoba melawan. Sambil memegangi saku celanya dia berdiri dan mendorong dua anak yang badannya paling kecil.

Buk! Tiba-tiba sebuah tinju melayang ke wajahnya. Andi terjerembap ke aspal. Kepalanya terasa pusing dan badannya tiba-tiba lemas. Dia merasa tidak punya tenaga lagi, namun dia tidak pasrah dan masih memegangi kantongnya.

Mbah Kung, sekarang Mbah Kung sudah meninggal. Dulu Mbah Kung yang selalu menemani Andi bermain dan melempar kucing ke anak-anak bandel menjahili Andi. Sekarang siapa lagi yang akan menemani Andi? Siapa lagi yang akan membantu Andi di saat seperti ini?

"Hei! Kalian! Jangan ganggu anak itu! Kalian tidak akan kubiarkan!" samar-samar Andi melihat seorang anak yang memakai topeng Ranger biru berteriak dari kejauhan. Anak itu berlari ke arah Geng Genji dan melayangkan pukulan ke arah mereka.

Rasa sakit yang dirasakan Andi di kepalanya semakin membuyarkan kesadarannya. Perlahan-lahan dia semakin tidak bisa merasakan tubuhnya. Di tengah jalanan aspal komplek yang sepi dan suara pukulan-pukulan dari arah anak bertopeng dan Geng Genji yang tidak bisa dilihatnya lagi, Andi pingsan sambil memegangi sisa uang dan roll film di sakunya.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang