18.]

327 53 18
                                    

Setelah selesai membeli buku di toko buku, aku harus berpisah dengan Arza. Ya iyalah, emang dia mau bareng aku terus gitu? Mau ngajakin bareng gitu? Nggak mungkin banget. Aku tidak mengharapkan biar bareng, serius.

Rumahku dengan rumah Arza itu berjauhan, beda arah. Kayaknya sih, soalnya aku juga tidak tahu persis rumah Arza di mana. Ya, walaupun itu bukan tujuan selanjutnya Arza kayak diriku yang bukannya pulang ke rumah tapi malah ke rumah Kak Raka. Arza tiba-tiba pamit minta duluan, aku ya harus mengiyakannya,  masa aku larang sih. Emang aku siapanya dia?

Berhubung obrolan bareng Arza mengenai komik itu seru be ge te, aku merasa kita agak nyambung. Aku kira Arza hanya orang ambis yang kerjaannya belajar terus selama seharian penuh. Well, teoriku itu salah. Ya, aku mengakuinya.

Obrolan aku dengan Arza di perpustakaan mulai mencuat di kepalaku. Bagaimana mengenai dia yang bilang kalau dia memerhatikanku semenjak SMP. I mean, ketika olimpiade IPS itu terjadi. Ya, aku juga baru menyadari kalau Arza mengetahui salah satu rahasia terbesarku. Dia tahu dari mana? Siapa yang memberitahunya? Kapan dia sudah mulai tahu semua itu? Kepalaku benar-benar dipenuhi itu semua. Tapi, aku tidak bisa bertanya mengenai itu tadi karena tidak ingin menambah kecanggungan di saat sedang asik-asiknya ngobrolin kesukaan.

Oke, Arza tidak seburuk yang aku pikirkan. Apa yang telah merubahnya sampai baik gitu? Apa cuma gara-gara kesamaan hobi? Apa gara-gara itu dia jadi baik sama aku? Tapi, sebelum aku tahu dia suka komik, dia udha mulai berubah jadi baik. Terus apa sebabnya dong?

Aku menyadari kalau abang-abang ojek online tidak tahu arah, cepat-cepat aku memberitahunya.

"Belok kiri, Bang," kataku sambil menggerakkan tangan.

"Oke, Mba," jawabnya.

Sisa perjalanan, aku hanya memberitahu arah yang benar pada abang ojek online ke rumah Kak Raka. Agar tidak kesasar.

Aku melihat rumah besar yang memiliki tingkat dua dengan cat berwarna putih. Aku langsung buru-buru menyetop abang ojek online-nya.

"Stop, Bang," kataku.

Abang ojek online-nya mengiyakan perkataanku. Dia menghentikan motornya di depan rumah bertingkat dua itu. "Udah nyampe, Mba," katanya.

Aku melepas helm, lalu turun dari motor. Aku menyerahkan helm kepada abang ojek online-nya, lalu mencari uang di dalam tas.

"Makasih, Bang," kataku sambil menyerahkan uang kepada abang ojek online.

"Makasih, Mba." Ia menerima uang itu. "Yah, Mba. Nggak ada kembalian," ungkap abang ojek online dengan muka agak melas.

"Nggak apa-apa," kataku.

"Makasih, Mba," ucapnya lagi sambil tersenyum.

"Iya, sama-sama," balasku dengan senyum.

Aku berjalan mendekati gerbang rumah itu. Gerbangnya warna hitam dan menjulang tinggi, melebihi tinggi badanku. Aku belum pernah datang ke rumah Kak Raka kalau sendiri. Biasanya ketika aku di sini bareng oleh Kak Raka atau kakakku dengan mobil. Ah, tidak perlu dibahas. 

Kak Raka biasanya tinggal buka sendiri gerbangnya. Lah, kalau aku yang melakukan itu? Langsung kena damprat yang punya rumah kali. Ya, walaupun yang punya rumah kenal sama aku, tapi aku tidak mau dianggap anak yang tidak sopan. Aku harus mencerminkan seorang anak SMA yang santun.

Mataku menengok ke kanan dan ke kiri, mencari bel rumah yang ada di depanku. Ah, itu ada di tembok sebelah kanan, samping pagar. Aku segera memencet bel rumah ini. Aku menunggu di depan rumah itu. Tidak ada yang menyahut ataupun datang. Aku memencet bel itu, tapi tetap tidak ada yang datang. Sampai kelima kali  aku memencet bel, tetap tidak ada yang ke luar. Kemana sih penghuni rumahnya?

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang