27.]

212 30 11
                                    

Persiapan LCC dan biologiku sudah matang udah kayak telor rebus. Aku sudah menghafal dan memahami semuanya dengan dalam. OSK biologiku pun sama.

Tinggal tersisa H-7 LCC seleksi kota.

Ngomong-ngomong, LCC itu lombanya lebih dulu dari OSK biologi. Kalau LCC tanggal 10 sedangkan biologi tanggal 14. Hanya berjarak empat hari. Tapi, menurutku itu cukup. Masih ada waktu untuk fokus.

Selama sebulan, aku sudah dekat dengan anak-anak LCc yang lainnya terutama Jaya dan Rara. Awalnya aku canggung tapi lama-lama mulai nyaman dengan mereka. Ditambah, Jaya juga suka komik! Aku, Arza, dan Jaya kalau lagi ngumpul suka banget ngomongin komik. Apalagi Jaya yang suka banget sama Shingeki no Kyojin. Jadi, aku dan Arza juga ikut-ikutan ngebahas komik itu. Di tambah, manga itu sudah diadaptasi ke anime. Jadi makin-makin deh tuh Jaya.

Aku sih nggak keberatan, toh aku juga mengoleksi komik itu dan menyukainya. Dan, yang paling terpenting adalah nambah temen yang suka komik! Ternyata komik bisa memersatukan manusia juga!

Tambahkan Rara yang makin lama  makin dekat denganku. Nggak cuma di eskul doang kita dekat, tetapi saat jam istirahat juga. Dia sering mengajakku ke kantin bareng teman-temannya. Awalnya, teman-teman Rara agak risih dengan keberadaanku, tapi sekarang mereka sudah mulai menerimaku menjadi bagian dari mereka.

Waktu aku duduk di kantin dan bercengkrama bareng dengan mereka, tidak sedikit orang-orang yang berbisik-bisik ria. Aku cuek saja.

"Udah, lo nggak usah didengerin, Ra, apa kata mereka," nasihat Bianca.

"Iya bener, Ra." Celine melanjutkan. "Eh, ntar gue nyontek PR lo, ya,"

"PR apaan? Gue kan nggak sekelas sama lo," timpalku bingung.

"Maksud lo, gue?" tanya Rara pada Celine.
Celine mengangguk.

"Ra siapa nih? Geer nih cie," canda Rara sambil menyenggol bahuku.

Seseorang tertawa, dia bernama Celine. Mungkin baru ngeh sama kelakuannya tadi.  "Abis nama lo berdua sama-sama 'Ra' sih!" dia menoyor kepalaku dan Rara.

Kami sudah lumayan dekat dengan mereka sehingga aku tidak marah sama sekali.

Aku tersenyum tipis, "Panggil gue, Tata aja." 

"Oke sip komandan, 'Tata Aja'," ucap Rara sambil menekaknkan kata 'Tata Aja'.

Aku memajukan bibirku. "Nggak usah pake aja, dong!"

"Oke, Tata nggak usah pake aja." Bianca menimpali.

"Bebas deh. Terserah kalian deh," ucapku pasrah.

"Eh, gue ke toilet ya," pamitku sambil berdiri dari tempatku duduk.

"Nggak minta dianterin nih? serius? " tanya Bianca.

"Nggak usah," tolakku. "Gue bisa sendiri."

"Lo suka banget sendirian ya, Ra? Eh, Ta. Aduh, masih kepelintir lidah gue." Muka Rara tampak kesakitan karena lidahnya kegigit.

"Kalian kan lagi makan. Gue nggak enak ngeganggu kalian makan." Aku memang masih agak canggung dengan pertemanan anak cewek yang kalau ke mana-mana bareng padahal mereka lagi sibuk.

"Udah-udah. Ayo ke toilet, Ta. Gue juga mau ke toilet nih," lerai Rara.

"Bener?" tanyaku meyakinkan. "Nggak karena cuma mau nganterin gue?"

"Iya. Gue juga lagi pengen 'ngecek'." Aku mengangguk dan berjalan ke kelas Rara dulu untuk mengambil sesuatu dan pergi ke toilet

====

Di toilet, aku langsumg menju ke salah satu bilik toilet yang menurutku paling bersih. Lalu, membuka keran aj

"Cep tan pen pi ga."

Apa sih maksud dari suara Rara. Nggak kedengaran kayak suara alien.

"Hah?! Apa?! Suara lo nggak kedengaran."

"In keran lo!"

Buru-buru aku mematikan keran air.

"Apaan?"

"Cepetan, ya, Ra, eumm, Ta! Gue udah nggak betah nih."

"Masih banyak toilet ya kosong, Ra. Baru juga gue masuk."

"Tapi, yang lagi lo pake, toiletnya enak."

Aku menghela napas. Iya sudah. Aku buru-buru meneyelasaikan agar Rara tidak terlalu menunggu lama.

Rara masuk ke dalam toilet dengan cepat.

Sambil menunggu Rara aku mencuci tanganku lalu melihat pantulan wajahku dari cermin. Aku membetulkan anak-anak rambutku. Di pantulan cermin, aku melihat ke dalam manik mataku. Seolah aku sedang memberi semangat kepada diriku melalui mataku.

Namun, itu hanya sesaat, tiba-tiba saja aku di dorong!

Mataku menatap sengit ke arah depan karena yang mendorongku ialah cewek standart alias Shela beserta teman-temannya.

"Nggak usah sok deh lo jadi orang!" Bentaknya padaku.

Buru-buru aku berdiri dari temapatku jatuh. "Maksud lo, gue sok dari mananya?!"

"Mentang-mentang lo banyak temennya sekarang ditambah pewakilan lomba LCC dan olimpiade. Lo sekarang jadi belagu." Mukanya Shela memerah karena amarah.

"Belagu? Belagu dari mananya coba." Aku berusaha tidak membalas bentakannya.

"Udah mulai berani jawab ya lo!" Shela menjambak rambutku.

Mulutku meluncurkan teriakan kaget karena tindakannya yang tiba-tiba. Lalu, aku mencoba melepaskan tanggannya dari kepalaku. "Kenapa gue nggak boleh ngejawab? Emangnya lo emak gue?!"

"Sekarang lo udah mulai berani ya?!" Dia semakin menarik rambutku.

Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan jambakannya dari rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku dan tidak sengaja aku mendorong tubuhnya.

Mukanya merah menahan kesal.

Aku menarik napas dalam dan menegakkan badan. Menatap lurus ke arahnya. "Gue kasihan sama lo, Shel.  Sekarang lo udah mulai pake cara murahan ya dengan ngelabrak gue begini? Maaf, gue udah nggak terpengaruh lagi sama lo. Gue juga nggak peduli lagi sama lo yang nambah-nambahin bumbu dalam cerita."

"Gue udah sabar ya, Shel. Tiba-tiba lo ngejauhin gue waktu masuk SMA terus ikut-ikutan ngebully gue! Gue nanya apa salah gue, lo malah marah-marah ke gue! Gue nanya baik-baik! Kalo gue salah ya bilang gue salah! Jangan diem-diem marah dan ngehancurin gue gini, Shel!" Tanpa sengaja aku menaikkan suaraku. Mungkin karena aku bisa  mengeluarkan segala perasaan menderitaku selama ini.

Dia diam sebentar.

"Waktu SMP lo berubah! Tapi, lo nggak nyadar!"

"Lo yang paling tahu kalo waktu itu gue nggak jadi diri gue sebenarnya. Saat itu gue lagi di titik terendah gue. Gue tertekan dari segala arah."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Gue ngaku, gue salah. Lo udah maafin gue. Tapi apa? Lo malah nusuk gue dari belakang."

Shela diam. Lalu, dia berjalan ke luar meninggalkanku sendirian di belakangnya.

"Tadi kenapa, Ta?" tanya Rara khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak apa-apa."

"Ayo, Ra, balik ke kantin." Aku menggandeng tangan Rara.

Aku sebenarnya tahu kalau Rara pasti bisa mendengar semuanya dan di sisi lain aku pun tidak tahu kalau Rara sebenarnya ingin kalau aku memercayainya sebagai sahabat.


30/09/2018 ; 18.48

Ini revisian yakk

-Sira

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang