21,5

210 30 0
                                    

[Bogor, 2 tahun yang lalu sehabis kematian ayah dan Iren]

Ibu mana yang tidak khawatir ketika meihat anaknya sedih? Ibu mana yang tidak sedih ketika melihat anaknya sendiri menderita? Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia ketika melihat anaknya terluka?

Hampir sebulan lamanya anaknya itu menangis di setiap malamnya lalu ketika matahari muncul dari ufuk timur, anaknya malah memilih meratap ke luar jendela dibanding bersekolah layaknya anak lainnya.

Jika diberi makan maka akan tersisa banyak.

Walau sudah dibawa ke psikolog, keadaan anaknya belum berubah. Tubuh anaknya begitu kurus berbeda dibanding tubuhnya sebulan yang lalu. Matanya begitu mati. Tatapannya tertuju pada hari-hari yang lalu dan mengabaikan kenyataan di depan matanya sekarang. Seolah dia hidup di masa lalu bukan masa sekarang. Pikirannya tertutup dari apa yang di depan matanya sekarang, berbanding terbalik dari kejadian kemarin.

Wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan mengetuk pintu, membuka pintu lalu menaruh makanan di atas meja belajar dan mendekati anak bungsunya itu.

"Tata, dimakan ya makanannya."

Yang diajak bicara hanya menengok dan melanjutkan dimensinya sendiri.

"Tata, kamu jangan terlaru berlarut-larut dalam kesedihan. Kasian hati kamu, lama-lama sakit."

"Kamu masih inget kejadian yang itu? Ceritain ke Mama kegelisahan kamu."

"Aku udah bilang ke Mama kalo aku bisa nginget semua kejadian di hari itu! Aku inget dengan jelas! Bahkan aku bisa nginget itu semuanya! Kejadian itu terus muncul di kepala aku, Ma. Aku capek. Aku pengin tidur, tapi aku nggak bisa! Aku tidur juga ingetnya itu terus. Aku ... Kayaknya udah gila." Gadis itu tersenyum getir, air matanya yang seharusnya sudah habis karena ditumpahkan terus-terusan malah kembali menguar.

Mama melihat ke arah tempat sampah yang ada di dalam kemar anaknya. Pil tidurnya dibuang semua. Obat-obatan yang diberi oleh psikiaternya telah dibuang oleh anaknya. Bagaimana harus menangani anaknya? Dibawa ke psiokolog udah. Psikiater udah. Apa yang harus ia lakukan? Cara apa lagi supaya anaknya tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan masa lalu?

Ia harus bisa melihat dari kacamata seorang ibu dan seorang dokter.

Seketika terlintas ingatan tentang percakapan dengan temannya mengenai suatu hal.

"Kamu nggak gila, sayang. Anak Mama nggak ada gila, sayang. Yang gila cuma kenangan yang terus-terusan datang walau kitanya nggak mau."

Mamanya teringat oleh percakapan antar temannya mengenai orang yang bisa mengingat segala hal. Ada berbagai kemungkinan. Yang terpenting, ia harus melihat isi kepala anaknya. "Nanti, Mama bawa kamu ke dokter ya? Kamu bakal diperiksa."

Gadis itu hanya mengangguk lemah, sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi ke depannya.

====

"Sayang, kamu nggak usah kkhawatir. Ini cuma pemeriksaan otak aja kok." Mama menenangkan anaknua yang ketakutan. Anaknya itu menarik-narik lengan Mama cemas. Mukanya ingin menangis karena dipisahkan dari Mama.

"Nggak sakit. Kamu cuma ngikutin aja prosedurnya." Mamanya mengusap puncak kepala anaknya penuh kasih sayang.

Tata, anaknya itu dibawa ke dalam ruangan. Ia tiduran di ranjang pasien lalu Tata didorong oleh perawat.

Tata memakai pakaian khusus rumah sakit yang longgar, antingnya tidak dipakai karena segala perhiasan harus dilepas, benda-benda di tubuh harus dilepas.

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang