21.]

349 48 52
                                    

Aku dan Arza memandangi tubuh Kak Raka yang berlari menuju kamar mandi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Arza memandangi tubuh Kak Raka yang berlari menuju kamar mandi. Setelah menghilang dari pandangan, barulah kami bersuara.

"Abang lo kenapa, Ar?" tanyaku.

"Nggak tau." Arza membalikkan badannya. "Palingan juga sok-sokan nyobain makanan pedes."

Aku mengikuti langkah Arza dari belakang. "Kak Raka orangnya batu juga, ya. Udah tau nggak bisa makan pedes, mana makannya jengkol lagi. Makin-makin dah tuh perut."

Arza berjalan menuju kemudi mobil, sedangkan aku berjalan menuju bangku penumpang sebelahnya Arza. Arza menyalakan mesin, lalu bergerak menjauh dari rumah berpagar cat hitam itu.

Di tengah perjaanan, aku berkata, "Gue baru tau lo bisa nyetir juga."

"Emang bisa." Arza menengokkan kepalanya, lalu tersenyum ke arahku. "Lo nggak punya mata?"

Halah, shitoplasma! Niat hati ingin berbasa-basi, eh dijawab yang menyakiti hati. Seharusnya aku tidak perlu berkata seperti itu. Cukup diam, anteng, pulang dengan selamat. Ini kenapa aku malah sok-sokan pake basa-basi ke Arza sih? Wagelaseh, udah tau urat yang diajakin ngomong, malah diajakin basa-basi.

Demi Dewa ala penari-penari India kuch kuch hota hai, senyumannya si Arza bikin orang mau nyeleding kepalanya! Sabar, Ra! Sabar! Orang sabar disayang Yang Maha Kuasa. Rileks. Rileks. Tarik napas dalam-dalam, buang perlahan-lahan. 

Aku duduk diam, tanganku kuletakkan di atas paha, lalu tersenyum paksa ke arah Arza sambil mengatakan,

"Gue punya mata. Dua mata malah. Kurang ajaib apa coba gue, punya dua mata?"

Mulut Arza membuka ingin membalas perkataanku. "Nggak usah nyari ribut. Mending mulut lo mingkem terus kedua mata lo, lo pake buat ngeliat ke depan, takut-takut ada gajah terbang terus kita nyungsep."

Arza ingin membantah ucapanku barusan, cepat-cepat aku menegaskan, "Nyetir aja yang bener. Ributnya ntar-ntar aja kalau gajah terbangnya udah pada tebang ke kahyangan."

Arza mengatupkan bibirnya, enggan menanggapi omonganku barusa. Mungkin dia nggak maucapek-capek ngebales omonganku tentang gajah terbang yang bakal naik ke kahyangan. Yah, baguslah, dia diem. Males juga sebenernya ngedenger Arza ngomong.

Jujur, walaupun aku dan Arza lagi gencatan senjata dikarenakan aku yang meminta bantuan pada dia, dan dia yang dengan mau-maunya menyetujui itu, tapi aku rasanya agak gimana gitu waktu nggak ribut. Rasanya ada yang kurang gitu. Rasanya kalau nggak bikin gara-gara sama Arza kayak ada yang mengganjal. Ngegas ke Arza itu rasanya kayak ritual wajib di hidup ini. 

Kenapa kok kegiatan ngegas ke Arza jadi suatu yang udah melekat di hidup gue? Wagelaseh, gue nggak tahu kalau Arza sengeselin itu sampe-sampe gue begini hahaha.

"Kenapa lo cekikikan sendiri?"

"Siapa yang cekikikan? Gue nggak ngerasa gitu."

"Lo lah. Siapa lagi? Masa nenen gue? Serem kali yang ada waktu malem-malem di dalem kuburan ada yang cekikikan begitu"

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang