9.] Error 404: What's Wrong This Page

585 80 20
                                    

Uluran tangannya yang diiringi senyum lebar itu membuatku terpaku beberapa saat. Bila ini ada di manga atau anime, di sekitarnya ada kilauan cahaya terang. Silau. Cuih.

Dengan cepat, aku menepis semua pikiran yang ada di kepalaku.

Aku menjabat tangannya. "Ara. Aranita Iranara."

Lalu, sudah. Tanganku melepas jabatan tangannya. Jangan harap ada adegan sinetron-sinetron alay yang megang tangan lama-lama terus bikin hati deg-deg serr nggak jelas gitu. Plese, ini dunia nyata bukan khayalan. Realitas tidak seindah ekspatasi, kawan.

"Udah? gitu aja?" tanyanya.

"Iya, emang mau apa lagi?" ucapku kalem.

"Masa lo nggak ada senyam-senyumnya gitu? Kan baru aja kenalan."

"Gue ggak mau dianggep orang gila."

"Tapi, senyum itu ibadah loh," ucap Askal dengan senyum-senyum nggak jelas miliknya. "Eh, iya, gue tahu kalau lo lahir di Bogor tanggal 1 juni 2001 kan?" sambungnya sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tertata rapi ditambah dengan lesung pipi miliknya

Kayaknya aku sudah mulai tahu sifat anak satu ini, yaitu senyum nggak jelasnya.

Aku mengeryitkan dahi. Bagaimana cowok satu ini bisa tahu tempat tanggal lahirnya? Belum juga kenalan lima menit yang lalu. Demi kekuatan bulan, bagaimana dia bisa tahu? Dia peramal? Tidak-tidak, Ara tidak percaya adanya seseorang yang mirip dukun itu. Kalau seandainya aku menjawab 'Kok tahu?' terus Askal balas menjawab, 'Kan aku tahu segala tentang kamu karena kamu tulang rusukku."

Geli.

Cukup! Ara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Askal terlihat sedang mencari sesuatu di dalam kantong celananya. Tapi, siapa peduli? Aku lanjut berjalan tanpa menunggunya.

"Tungguin napa! Kan kita barusan udah jadi temen." teriak Askal dari belakang sambil berlari kembali ke perpustakaan.

Aku tetap berjalan, tidak mau menggunya. Aku merasaa kalau Askal mulai berlari mendekatiku. Lalu, ada sebuah tangan memegang pundakku. Benar saja, itu Askal.

"Tungguin kek, main tinggal aja. Ini, dompet lo ketinggalan!" Askal menyerahkan sebuah dompet berwarna hitam bercorak bunga-bunga. Tapi kok bisa ada di dia?

"Kok dompetnya bisa ada di lo?" tanyaku bingung.

"Orang mah bilang makasih dulu kek," sindir Askal.

"Makasih," ucapku padar, singkat, dan jelas.

"Orang mah kalo bilang makasih tuh yang tulus disertai seyuman."

"Makasih, Askal," ucapku sambil membuat senyuman lebar dengan disertai usaha ekstra karena sudah dibuat jengkel oleh kepribadiannya.

"Iya, sama-sama." Askal girang melihat ucapan makasih dariku. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Emang ada yang lucu dariku?

"Serius, kok dompet gue ada di lo?" Aku serius bertanya. Ini sudah masuk ke mode serius. Kok bisa-bisanya dompet milikku ada di dia yang seorang anak baru!

"Gue nemu dompet itu pas papasan sama lo di pintu kelas yang waktu lo lagi ditarik sama cowok kacamata."

Kok bisa-bisanya sih seorang Ara sampai tidak bisa menyadari kalau dompet miliknya terjatuh? Omegat omegat. Jarang sekali aku melakukan sebuah kesalahan seperti ini.

"Terus tadi kenapa lo balik lagi ke perpus?"

"Oh ... itu dompet lu ketinggalan di perpus."

Bisa-bisanya dia melupakan dompet berharga milikku tergeletak tidak berdaya sendirian di dalam perpus. Kalo ada yang mengambilnya gimana? Rasanya, aku ingin mengutuk makhluk astral satu ini. Tapi, kuurungkan niatku karena ya ... ini juga salahku sendiri sih karena bisa-bisanya sampai tidak menyadari kalau dompetku jatuh. Ya sudahlah. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang