26,5

358 44 17
                                    


[Jakarta, dipertengahan tahun 2013 ]

Di dalam rumah megah dengan bernuansa Mediterania yang dihiasi dengan berbagai macam furniture klasik ruangan itu terdapat tiga orang yang sedang duduk di sofa dengan wajah serius. Dinding-dinding berwarna krem yang melambangkan kelembutan, tetapi seolah mereka terpengaruh. Suasana menyejukkan dari dalam rumah, tidak berpengaruh pada tiga orang itu. Lampu gantung yang di atas mereka memberikan kesan terang, tetapi mereka semua malah tegang.

"Jadi, Papa pengin nikah lagi?" tanya seorang lelaki yang telah melewati fase remaja. "Nikah sama orang yang seharusnya jadi kakak, malah jadi mama?" sudutnya dengan mata menajam.

Lelaki yang di hadapannya mengangguk lugas, sedangkan lelaki yang tadi bertanya telihat marah, ia memutar bola matanya. Dia mengumpat pada ayahnya sendiri. "Udah tua, tapi mau nikah sama anak gadis. NGACA, PA! APA PERLU SETYA BELIIN KACA YANG GEDE?!"

"COBA KALAU MAMA MASIH ADA. DIA PASTI BAKAL JIJIK!" Setya berteriak di depan muka Papa-nya.

PLAK

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Setya. Setya memegang pipinya yang memanas karena ulah Papanya. Ia menatap sengit ke papanya. "Pantes aja Mama mati gara-gara lo, sialan! Mama dikasarin, diselingkuhin, dinangisin sama lo! Dan ... Lo sekarang lebih milih sama cabe-cabean dibanding anak-anak lo?!"

Setya berdiri dari sofa yang ia duduki, lalu ia berjalan melewati papanya. "Sampe gua mati, nggak bakal gue restuin lo sama cabe-cabean itu!"

Setya berjalan ke luar rumah dengan perasaan kesal, dan ia membanting pintu dengan suara yang keras sampai-sampai suaranya terdengar oleh Papa dan cowok berjaket hitam.

Lelaki yang barusan menampar anaknya itu, mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki berumur belasan tahun. "Kal, kamu ngerestuin Papa, 'kan?"

Yang diajak bicara malah berdiri dari tempatnya duduk. "Nggak tau, liat ntar." Dia berjalan melewati Papanya dan menjauhi satu tempat bersama Papanya karena ia tidak mau menghirup udara yang sama dengan orang yang ikut andil dalam pembentukan dirinya.

===

"Askal! Lo ngeliat kan tuh cabe-cabean seenaknya di rumah ini?!" Dengan wajah kesal setengah mati, Tanpa memedulikan jawaban adiknya dia membentak cewek yang lebih tua beberapa tahun darinya. "LO! NGAPAIN LO BUANG-BUANGIN BARANG MAMA GUE?!"

Cewek yang memakai atasan berwarna tosca dan rok berwarna putih itu berjalan mendekat ke arahnya dan mengelus lengan cowok yang tadi berteriak yang statusnya sudah jadi anak tirinya. "Maafin Mama, Setya. Mama nggak tau kalo itu punya mama kamu"

Setya menepis tangan ibu tirinya itu sehingga mamanya terjatuh. Padahal ia tidak mendorongnya kencang, tetapi mama tirinya malah terjatuh. Mama tirinya itu menangis sesegukan. Ia memutar bola matanya.

Dasar cewek licik, umpatnya dalam hati.

"Nggak usah playing victim lo! Nggak usah pura-pura nangis! Cabe-cabean kayak lo nggak pantes buat nangis!"

PLAK

Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi kiri Setya. Pipinya memanas, tapi ia tidak merasakan sakitnya seolah sakit di hatinya lebih dari tamparan yang dilakukan Papanya. Sakit di kulitnya tidak sebanding dengan sakit yang ada di hatinya.

"KAMU! Papa nggak didik kamu kayak gitu! Minta maaf sama Bunga!" Muka papanya memerah, kesal dengan perkataan yang dilontarkan oleh anak sulungnya.

Setya mendengus meremehkan. "Minta maaf sama dia? Mati dulu gue baru minta maaf sama di—

Setya menutup matanya saat melihat tangan papanya yang mengangkat ke atas dan melayang ke arah dirinya. Tangan papanya mau memukulnya lagi. Setya sangat hafal perilaku papanya. Setya merelakan dirinya dipukul oleh papanya. Namun, kenapa pipinya masih baik-baik saja? Kenapa pipinya tidak sakit? Kenapa tidak ada suara tamparan keras? Kenapa papanya tidak membentak dirinya? Dia membuka perlahan matanya. Di sana, adiknya sedang menahan tangan papanya.

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang