22.] Kepingan Masa Lalu

357 49 32
                                    

[Bogor, 7 tahun yang lalu]

"Mama," panggil anak kecil bertahi lalat di pipi kiri itu. "Mama, kenapa ya kok aku suka selalu sedih sama Coco yang udah nggak ada. Padahal kan Coco udah mati 1 tahun yang lalu di hari selasa tanggal 28 Juli 2009, tapi kok rasanya kejadiannya kayak kemarin ya, Ma?"

Wanita yang dipanggil Mama itu tersenyum maklum. Menyadari kalau anak perempuan mungkilnya masih tidak rela kucing gempal berbulu putih kesayangan anaknya mati, Coco. Saking sayangnya anaknya pada kucing kesayangannya itu membuat anaknya sampai hafal persis tanggal kematian sang kucing—walau bukan waktu yang sebenarnya karena ini adalah waktu ditemukannya Coco di dalam lemari pakaian kamar belakang.

Wanita yang sudah memiliki dua buah hati itu berjongkok agar bisa menyejajarkan tubuhnya dengan anak perempuannya yang paling bungsu. Ia mengelus-ngelus puncak kepala anak itu dengan lembut. "Sayang, ikhlasin aja Coco biar dia bisa tenang di alam sana. Kasian Coco ditangisin mulu sama kamu."

"Tapi, Ma, aku nggak bisa. Aku sering banget kebayang pas kita nemuin tubuh Coco dipojokkan lemari terus mukanya kayak sedih gitu, Ma. Aku sedih." Anak kecil berambut panjang itu tiba-tiba terisak karena mengingat kembali Coco sang kucing baik hati peliharaannya yang suka membangunkannya saat tidur untuk pergi ke sekolah.

Wanita yang ada di hadapannya memeluk tubuh anak itu lembut. "Bisa, sayang, bisa. Kamu nggak usah nangis kayak begini. Mama jadii ikutan sedih kan," Mamanya mengelap matanya yang meneteskan bulir air mata. "Kalau kamu keinget Coco waktu kita temuin dia di lemari kamar belakang, coba inget-inget lagi waktu kamu sama Coco lagi seneng karena main bareng. Kamu jangan nginget pas Coco-nya mati aja."

Anak kecil itu mengangguk lemah, mencoba mengikuti saran Mamanya.

Namun, setelah berminggu-minggu ia tetap tidak bisa melupakan Coco. Ia sedih. Sangat malah. Tapi, ia tidak bisa lagi melaporkannya pada Mama bahwa dirinya sedih karena takut Mama-nya sedih. Semakin, di coba, malah semakin sulit. Semakin ingin dilupakan, malah semakin kuat ingatan itu. Bayang-bayang kucing kesayangannya masih tetap terasa seperti kemarin kucingnya itu mati padahal udah setahun lamanya.

Ah, sudah lama sekali anak kecil itu bersedih karena Coco si kucing peliharaan kesayangannya. Ia bertekad untuk mulai kembali mencoba anjuran Mamanya.

Anak kecil itu mengusap matanya yang merah.

Pintu terbuka memerlihatkan seorang gadis remaja yang masuk ke dalam sambil membawa komik. "Dek, ini komik buat kamu." Ia memberikannya tampak sedikit malu-malu.

Malu karena baru kali ini ia rela melakukan suatu hal yang menyenangkan untuk adiknya tanpa disuruh Ayah atau Mama. Soalnya, gadis itu lebih suka menggangu adiknya itu untuk melihatnya menagis ketimbang tertawa. Gadis itu juga turut memanas-manasi adiknya tentang Coco yang mati karena adiknya itu suka ngelitikin Coco. Dia selalu bilang ke adiknya bahwa Coco mati karena kesukaan adiknya yang suka ngelitikin Coco. Coco nggak suka dikelitiki, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan dengan adiknya itu untuk selamanya. Tentu saja, adiknya percaya dan dia hanya tertawa karena tingkah polos adiknya yang mau aja ditipu olehnya.

"Ini komik buat dibaca. Itung-itung buat hiburan. Awas aja sih kalo rusak, gue buang lo ke got biar dimakan buaya."

Gadis remaja itu membungkam mulutnya sendiri, keceplosan ngomong 'gue, lo' di depan anak SD, ya mungkin di sekolah dia udah ngomong 'gua, lu' tapi kalau di rumah kata itu sangat terlarang. Tapi, agak ragu juga kalau adiknya itu ikut terpengaruh bahasa begtuan di sekolahnya.

Gadis itu membalikkan badannya. "Baca komiknya, dijamin seru. Biar kamu nggak sedih mulu sama Coco. Coco mati juga bukan karena lo keitikin terus. Dia mati karena emang udah segitu umurnya."

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang