8.] Error 404: His name is Askal

643 79 21
                                    

SEKARANG aku sudah berada di perpusatakaan tapi dengan situasi awkward. Gimana nggak? Nih ya, di mana-mana orang ke perpustakaan ya buat baca buku. Lah, ini orang yang di sampingku beda. Bukannya baca buku, novel, atau ya seenggaknya tidur kek. Ini mah nggak, dia malah cuma ngeliatin aku yang sedang baca novel. Kan aku jadi risih!

"Lo ngapain sih ngikutin gue sampai ke perpus?" tanyaku to the point.

"Abisnya gue bingung mau ke mana. Yaudah gue ngikutin lo aja," ucapnya kalem.

"Tapi kan nggak usah ngeliatin gue juga kali!" bisikku.

"Geer. Siapa juga yang liatin lo? Dari tadi gue liatin vas bunga yang ada di depan lo."

Wajahku memerah menahan malu. Bisa-bisanya aku berpikiran seperti itu. Wajah cantik juga nggak!

"Oke, dari pada di sini. Lo kan bisa pergi ke kantin, toilet, atau duduk di depan kelas aja. Gampang kan? Udah pergi sana, nggak usah deket-deket gue." Tanganku bergerak  mendorong tubuhnya untuk pergi.

"Berisik. Udah nggak usah ngeribetin deh. Lo tinggal duduk terus gue temenin apa susahnya sih. Lagian gue lagi pusing gara-gara barus pertama kali masuk sekolah, udah dijejelin ulangan aja. PPKN lagi! Dikira gue bisa ngapalin pasal gitu kali," katanya sambil menelungkupkan wajahnya yang lesu.

"lah terus tadi kok bisa ngerjainnya cepet? Jadi, semuanya ngasal?!" pekikku kaget tapi aku segera menutu mulutku karena aku tersadar bahwa aku sedang dalam perpustakaan.

"Nggak usah lebay deh. Nggak semuanya ngasal kali. Palingan cuma satu atau doang yang gue isi. Tapi lo mikir kalau gue bisa ngerjain semua soal dengan cepat gitu? Apa muka gue semeyakinkan itu?" dia menyipitkan matanya rasa ingin tahu.

Ya, kalau boleh jujur sih, emang mukanya semeyakinkan itu. Pasti, aku salah sangka nih. Dari dulu memang tidak boleh menilai orang dari mukanya, tapi memang sudah keseringan, jadi susah dilepas kebiasaan itu. Aku peringatkan ya kawan-kawan, kalian tidak boleh tertipu oleh tampang oke? Setuju? 

Iya setuju, Ra! 

Lah, lah, nanya sendiri jawab sendiri. Maapkan Ara ya, kawan. Oke balik lagi, tapi bener deh, memang mukanya semeyakinkan itu.

Aku menjawab pertanyaan itu dengan singkat, padat, dan jelas. "Nggak tuh, biasa aja." 

"Lagian ngapain juga gue belajar pasal-pasal toh di dalam kehidupan bermasyarakat cuma tindakan lo bener aja juga cukup. Masa saat lo ketemu sama orang. 'Eh, gue cuma mau temenan sama dia, kira-kira gue kena pasal berapa ya?' kan nggak lucu juga setiap saat lo harus nanya kayak gitu ke setiap orang dan setiap saat." Dia menjelaskannya dengan sarkas.

"Ya nggak gitu juga kali," cepat-cepat aku membantah perkataannya. " Lo belajar pasal sama aja kayak lo belajar aturan, belajar mana yang baik dan benar. Aturan juga dibuat karena manusia yang bertindak tidak sesuai, makanya aturan dibuat agar manusia tetap bertindak sesuai dengan kodratnya."

"Lo pernah mikir nggak sih? Kalau itu semua kayak kontradiksi? 

Di satu sisi, dunia itu nggak usah ada aturan karena dengan adanya aturan malah ngebuat kita ingin banget ngelanggarnya tapi kalau nggak ada aturan malah ngebuat kehidupan bakal kacau.

Iya. Sama kayak lo punya niat kalo nggak bakal nyontek tapi secara tidak langsung dikasih tahu caranya sama guru. Akhirnya, lo malah nyontek walaupun di awal niat lo jujur. Lo  nyontek pake cara yang guru lo kasih tau tadi  sambil dicari-cari celahnya di mana biar bisa lo tutupin.

Lagian ngapain menuh-menuhin isi kepala dengan hal begitu. Toh, kalau peraturan itu dicabut dan diganti sama yang baru bikin menuh-menuhin ruang di kepala lo. Lo harus ngapalin lagi.  Emang sih memori otak manusia kapasitasnya besar banget, tapi kenapa nggak dipake untuk hal yang pasti?"

"Tap--'

"Ara, ada surat nih untuk kamu," sela Bu Sari.

Aku langsung bergegas mendekati Bu Sari dan meninggalkan cowok itu di tempatnya.

"Ini dari siapa, Bu?" tanyaku bingung.

"Lupa ibu namanya siapa, Ra."

Surat? surat dari siapa? Kok nggak jelas amat. Biasanya kalau ada yang mengirim surat dari guru piket tapi kok ini dari perpustakaan? Aneh sekali.

Aku kembali berjalan ke meja terdekat untuk membuka surat yang tadi diberikan. Ternyata ... itu surat yang isinya kertas waktu itu.

Kalian inget tentang kertas yang pengin aku selipin di buku di perpustakaan terus ntar ada yang ngebales kertasku? Tapi waktu itu aku nggak jadi nulis itu. Malahan udah aku buang ke tempat sampah. Nah, di dalemnya ada kertas lecek itu.

Tapi kertas kumal itu nggak cuma satu-satunya kertas di dalem surat itu. Ada kertas lagi di belakang kertas kumal itu. 

Ternyata ada yang bales.

 Eh ... tapi jangan-jangan yang ngebales surat aku, beneran Mamang penjaga sekolah lagi.  

Aku yang dari tadi menunduk untuk ngebuka surat itu lama-lama merasa pegal.

"Astaghfirullah!" pekikku kaget.

Sewaktu aku mengadahkan kepala, tiba-tiba ada kepala orang di sana. Dan orang itu dia.

"Lo kenapa dah? Kayak kegep aja dah," ujarnya santai.

"Ya gimana gue nggak kaget, tiba-tiba di atas kepala gue nongol kepala orang!" Refleks aku memukul tangannya.

Dia mengaduh. "Sakit tau."

"Siapa suruh ngagetin!"

"Ciee dapet surat cintaa." Dia senyum-senyum nggak jelas gitu. 

"KALIAN BERDUA BERISIK AJA! MENDING KALIAN BALIK KE KELAS AJA!" teriak Bu Sari dari tempatnya.

"Ah, gara-gara lo sih! Udah ah gue mau balik." Aku berjalan keluar sambil minta maaf kepada Bu Sari karena membuat keributan sewaktu di perpustakaan. Dia? Dia tetap mengekoriku.

"Cieee." Dari tadi, di belakangku, dia berkata itu melulu.

Lama-lama aku semakin kesal lalu berhenti dan membalikkan badan. "Udah ah sana. Ganggu aja! Kenal juga nggak!"

"Kenalin, nama gue Askal. Salam kenal ya." Dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar.[]

27/11/2017 ; 19.10

Kritik

Saran

Komen ya ....

-Sira

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang