24.]

353 39 36
                                    

"Kal, gimana kerja kelompok bahasa indonesia yang ngelakuin wawancara untuk anak jalanan?" tanyaku ketika aku menaruh tas di kursi, lalu duduk dan melihat reaksi dari Askal.

"Bukannya masih lama ya?" tanyanya acuh sambil mengetik pada laptop warna hitam miliknya

Askal lagi ngapain sih? Emang ada tugas buat PPT atau apalah yang mengharuskan memakai laptop? Seingatku, tidak ada. Apa jangan-jangan ada tugas yang aku tidak tahu? Tugas apa kira-kira yang membuat Askal pagi-pagi banget untuk pantengin layar laptop?

Ah, memang sih tugas Bahasa Indonesia ngumpulinnya masih lama. Tapi kan, bukannya mengerjakan tugas lebih cepat lebih baik? Daripada ngerjainnya pas deadline malah bikin mau mati karena dikejar waktu.

Apalagi aku sudah membuat plan di planner-ku kalau bulan-bulan ini akan menjadi hari yang cukup melelahkan.

"Iya sih masih lama. Takutnya kan pas deadline malah gue sibuk," jujurku terus terang.

Askal menghentikan gerakan mengetiknya, ia mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Gue lagi sibuk malah minggu-minggu ini. Jangan minggu ini, plis." Askal merapatkan telapak tangannya  memohon padaku sambil memasang muka puppy eyes-nya.

Aku menghela napas, tidak tega melihat Askal dengan puppy eyes-nya. Tidak tega juga harus memaksa dia di saat dia sibuk. Mending aku yang mengalah. Mengalah adalah suatu bentuk toleransi yang harus dimiliki oleh seorang manusia. Ya, asal aku bisa meng-alarm-kan diri untuk tidak kebablasan dengan memberikannya keringanan gitu aja.

Tapi, gimana caranya? Kalo misalnya pas dia nggak sibuk, tapi aku sibuk gimana? Malah nggak dikerjakan dan nggak akan kelar tugasnya, dong.

Ah! Tring! Bohlam menyala di atas kepalaku. Aku punya ide!

Dicicil aja kali, ya?

"Mending gini, kita buat daftar pertanyaanya dulu pakai kaidah 5w+1h gimana?" tanyaku. "Kalo lo udah ngebuatnya, ntar tinggal kasih ke gue, biar gue liat. Gue juga buat. Biar gue bisa nambahin apa yang kurang dari daftar pertanyaan lo." Aku memberikan solusi pada Askal. Aku menunggunya memberikan jawaban. Aku melihat dia sedang berpikir.

"Siap!" Askal memberikan hormat padaku layaknya seorang jendral.

Aku tertawa melihat tingkahnya.

"Kata gue ya, Ra ...." Dia sengaja mwnggantung kalimatnya.

"Apa?" tanyaku kemudian.

"Gimana kalo yang lainnya pada ngerjain, kita juga baru ngerjain? Emang lo mau kalo kelompok yang lain tau kalo misalnya kita udah ngerjain duluan? Lo nggak ngerasa gimana-gimana gitu?" Askal membisikkan dengan nada menghasut dibuat-buat kayak di gosip no sikrit.

Aku tahu kalau dia cuma ingin bertanya. Tapi perkataanya ada benarnya juga. Tentu saja aku juga manusia yang bisa merasakan sakit hati walau aku sudah berusaha sebisa mungkin sudah membentengi diriku. Aku sudah menutup hati, telinga, mata, dan semua panca inderaku supaya aku tidak teluka.

Bukannya aku pernah bilang kalau aku sudah kebal?

Ah, benar. Aku sudah kebal walau sudah disakiti. Padahal aku sudah membiasakan diri menerima perlakuan buruk seperti balita yang disuntik vaksin yang isinya ternyata bakteri atau virus.

Kebal-kebalnya seseorang dari perilaku buruk seseorang pasti akan tembusnya dinding pertahanannya. Mungkin karena Askal, aku sedikit demi sedikit membuka dinding pertahananku dan bisa lebih peka atas diriku.

"Ngerasa kayak gimana, Kal?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Ck! Pura-pura nggak tahu lagi!" Askal menatapku. "Lo nyadar nggak sih, Ra, kalo muka lo gampang ketebak?"

Error 404: Feelings Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang