17 - Dion (Revisi)

749 44 0
                                    


Keadaan didalam mobil tersebut sangat hening. Setelah Azka mengantarkan Mamanya kembali kerumah. Sekarang ia mengantar Luna kembali kerumah gadis itu.

Didalam mobil Luna duduk dengan gelisah. Ia terus memikirkan perkataan Mama Lian tadi. Menikah? Tapi, apakah pernikahannya akan berjalan dengan baik nanti?

Dering ponselnya tiba-tiba berbunyi. Membuyarkan semua persepsi tentang kata "nikah" didalam kepalanya. Tanpa menghiraukan siapa yang menelponnya, ia segera merogoh kantung rok putih tulang sepanjang lutut yang ia pakai. Rok itu mengembang dibagian bawahnya dan dilengkapi dengan sebuah saku disisi kiri. Tadi di apartemen Azka, ia baru saja mengisi penuh baterai hpnya. Karena sejak ia berpisah dengan Tasya. Hpnya sudah low battery total. Alhasil, ia tidak bisa menghubungi Tasya. Pasti gadis galak itu khawatir padanya.

"Halo.."

"Luna, apa kabar nak?" Suara lembut diujung sana terdengar. Luna membekap mulutnya terkejut. Ia pikir itu Tasya, nyatanya orang yang saat ini menelponnya adalah sang Ibu. Yang sudah dipastikan merindukan anaknya.

"Baik bu, Luna sehat disini.." suara Luna tertelan ditenggorokannya. Matanya mulai memanas kini.

"Bagaimana kuliahmu nak? Berjalan dengan lancar?"

Suara itu membuat hati Luna memanas. Tanpa terasa air mata mulai mengaliri pipinya.

"Ah, kuliahku lancar, hanya saja dosenku semakin galak" Ia berbohong. Entah ini adalah kebohongan yang keberapa kalinya ia sampaikan. Dari hari kehari ia terus saja berbohong pada orang tuanya. Ia tidak tahu sampai kapan harus berbohong. Apakah setelah anak ini lahir? Ataukah semua kebohongannya terungkap bahkan sebelum anak ini lahir.

Tanpa terasa air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak bisa menahannya. Sakit sekali membohongi orang yang sudah melahirkanmu.

"Kau kenapa nak? Ibu seperti mendengarmu menangis, ada apa?" Suara Ibu terdengar lagi. Nada khawatir itu menusuk hatinya.

Luna tersenyum se-ceria mungkin, meski ia tahu sang ibu pastilah tidak dapat melihatnya.

"Tidak Bu, aku menangis karena terharu ibu menelponku saja. Aku merindukanmu" sangat. Sampai rasanya tak tertahankan.

"Kalau begitu pulanglah akhir bulan ini. Bukankah akhir bulan ini kau libur. Kau memberitahukan Ibu beberapa bulan sebelumnya. Pulanglah nak! Ibu sangat merindukan putri kecil Ibu"

"Aku juga Bu. Tapi sepertinya aku.." Luna menarik napasnya sebelum kembali melanjutkan perkataannya "aku tidak bisa pulang. Tugas kuliahku bertumpuk, dan aku tidak bisa meninggalkannya"

"Maafkan aku.."

"Tidak pa-pa. Semangatlah nak, Ibu mengerti. Anak kuliahan memang sibuk ya.. "

"Baikalah, sebaiknya kau istirahat nak, jangan tidur terlalu malam, jangan memaksakan diri kalau belajar! Ingat makan! Ibu tutup telponnya anakku"

Dan tangisan Luna pecah begitu saja bersamaan dengan bunyi telpon ditutup.
Bahkan suara hujan diluar sana kalah dengan suara isakan gadis itu.

●●●

Sudah lima belas menit berlalu. Sedari tadi mobil Azka sudah tiba didepan rumah Luna. Selama itu pula Azka sudah menghabiskan lima belas menitnya mendengarkan suara isakan Luna disampingnya. Itu pertama kalinya ia berada dalam posisi dimana ia tidak bisa melakukan apapun. Ia tidak tahu bagaimana caranya membuat tangisan Luna berhenti.

Selama ini, ia memang sudah sering menjalin hubungan dengan banyak perempuan baik kalangan artis maupun model. Hanya saja, setiap para perempuan itu menangis Azka selalu tahu apa yang harus ia lakukan. Bahkan kata-kata rayuan akan dengan mudahnya keluar dari mulutnya. Tapi sekarang, bahkan berkata saja ia tidak bisa. Permasalahannya disini adalah gadis ini tidak bisa ditenangkan hanya dengan sebuah rayuan, bunga, cokelat ataupun hadia mahal lainnya.

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang