27 - Why Me?

640 39 3
                                    

•●●•

"Jadi kamu tinggal disini?" Tanya Alvin setelah menurunkan Luna didepan gedung apartemen tempat perempuan itu tinggal.

"Iya kak"

"Suamimu pasti kaya, inikan apartemen mahal"

Hal itu membuat Luna canggung. Andai saja ia bisa mengatakan siapa suaminya yang sebenarnya, pasti Alvin akan lebih terkejut lagi.

"Em kak, aku masuk dulu ya, terima kasih tumpangannya" ucap Luna lembut.

"Oh ya sudah, aku juga udah mau balik, masuk gih sana!" Luna mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan Alvin.

Laki-laki itu bersandar dipintu mobilnya. Dari kejauhan ia dapat melihat Luna yang sudah menghilang dibalik pintu loby.
Usai memastikan Luna benar-benar sudah pulang, Alvin kembali masuk kedalam mobilnya dan melaju pergi.

●●●

Luna duduk dikursi meja makan sendirian. Meski begitu ia tetap saja menyiapkan makanan berlebih. Luna hanya berharap Azka akan pulang tiba-tiba dan mau makan bersamanya. Ia juga ingin sekali memperlihatkan pada Azka hasil pemeriksaan kandungannya.

Dan mungkin sebagian harapannya terkabul. Entah ada angin apa Luna merasa seperti mendapatkan sekarung emas, rasa senangnya berkali-kali lipat saat melihat Azka muncul didepan pintu. Melihat Azka yang datang meski dengan wajah kusut dan mungkin sedikit marah sudah cukup membuat perut Luna dipenuhi kupu-kupu.

Lalu ia kembali dilambungkan tinggi saat Azka bergerak kearah meja makan dan duduk tepat dihadapannya. Tanpa perlu dipersilahkan sama sekali, layaknya pasangan harmonis, Luna mengambilkan lauk pauk dan memberikannya pada Azka. Lebih bahagia lagi saat laki-laki itu mau memakannya.

Makanan Luna sudah habis sejak tadi, sedangkan Azka masih berkutat dengan garpu dan sendoknya. Ingin rasanya Luna bertanya 'apakah enak? Kamu mau lagi?' Sayangnya pertanyaan itu hanya bisa disimpannya seorang diri. Cukup Azka mau makan saja dengannya hari ini sudah cukup membuat Luna bahagia.

"Aku selesai" ujar Azka hendak beranjak dari tempatnya sebelum Luna menahan ujung kemeja laki-laki itu.

"Se-sebentar, ini....lihatlah" Luna menyodorkan hasil pemeriksaannya, namun melihat raut wajah Azka yang akan menolak membuat Luna menarik tangan suaminya dan meletakkannya ditangan Azka.

"Buka sekarang!" Paksa Luna seperti anak kecil. Hal itu membuat Azka ingin tersenyum. Padahal mereka sudah tidak berbicara selama satu minggu, namun hanya karena Luna merengek seperti itu padanya membuat rasa marah Azka lenyap begitu saja. Luna terlalu menggemaskan untuk ditolaknya, rasanya Azka ingin memakan dan menyeret Luna kekamar sekarang juga.

'Shit!!! dia manis sekali, rasanya aku ingin men-, astaga hentikan pikiran bodohmu Azka!'

"Azka buka sekarang!" Seru Luna cukup keras. Sedikit manja sebenarnya, mungkin karena efek kehamilannya.

Azka membuka berkas yang diberikan Luna. Meski ia bingung, namun karena wajah menggemaskan Luna membuatnya mau tidak mau membuka berkas tersebut. Dibacanya kertas yang dipengangnya. Seketika hati Azka menghangat. Didalam sana, bersama berkas yang baru selesai dibacanya terdapat gambar penampakan janin didalam perut Luna. Terlihat kecil namun entah mengapa mampu menggetarkan hati Azka. Ada perasaan bahagia yang meletup-letup dalam hatinya. Perasaan yang tentu saja percuma untuk ditutupi karena rasanya terlalu nyata.

Janin kecil yang ada difoto itu adalah calon bayinya. Bayi kecil yang selama ini kurang diperhatikannya. Rasa egois yang selama satu minggu ini dipertahankan Azka, seketika luntur begitu saja.

"Dia tampan sekali" ujar Azka tanpa sadar.

"Apa dia baik-baik saja? Bayi ki-ta?" Seru Azka kaku, kata 'bayi kita' terasa sulit untuk dikatakan langsung. Azka sadar tangannya bergetar saat ini, getaran kecil yang mampu ditangkap mata Luna.

Sekarang, bolehkan Luna berpikir bahwa ada setitik harapan untuknya? Harapan yang nantinya bisa mendatangkan bahagia diakhir cerita ini. Luna masih pada posisinya, terduduk kaku dengan harap-harap cemas menatap ekspresi wajah Azka yang terlihat datar dan kaku. Terlalu sulit menebak apa yang dipikirkan laki-laki tampan dihadapannya ini.

"Baik-baik saja, aku pergi memeriksakannya bersama Tasya pagi ini...." ada jeda pada kalimat Luna.

"Dokter bilang, dia kuat dan sehat, katanya mungkin saja itu laki-laki"

Azka terpaku. Berusaha mengembalikan fokusnya pada Luna yang tadi sempat terganggu karena foto ditangannya.

"Wow." Seru Azka kaku pada akhirnya. Terlalu bingung lebih tepatnya.

Luna bangkit dari duduknya, meninggalkan Azka. Ia bergerak membersihkan meja makan dari bekas makan malam mereka. Luna rasa tidak ada yang perlu ia bicarakan lagi dengan Azka, pada dasarnya Luna hanya ingin Azka tahu bahwa anak mereka baik-baik saja. Lunapun berharap dengan itu setidaknya Azka akan berhenti marah padanya.

"Azka, boleh aku minta berkasnya kembali?" tanya Luna cemas, sekembalinya ia dari meletakkan piring-piring kotor di wastafel.

"Maksudmu?"

Luna tidak mengerti. Ia mengerutkan keningnya "Berkas itu," tunjuk Luna kearah tangan Azka, "Aku ingin menyimpannya...." kata Luna pelan diakhir kalimat.

"Ah..., ini," seperti orang kebingungan Azka menyerahkan berkas tersebut kepada Luna. Setelahnya Azka berlalu pergi tanpa mengatakan apapun.

Sekali lagi. Luna merasa sesak didadanya. Padahal tadi ia sudah berharap Azka akan mulai memperhatikannya, sayangnya harapan nya pupus begitu saja. Apa foto janinnya tidak mampu sedikit saja menggetarkan hati Azka? Apa yang sebenarnya terjadi pada laki-laki itu.

Luna terduduk kembali. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Tangannya terkepal erat diatas meja, tepat diatas foto janinnya. Sesak sekali. Tak pernah ia pikirkan pernikahannya akan berjalan seperti ini, kacau. Rasa-rasanya tak ada satu halpun yang berjalan baik dalam hidupnya. Hamil diluar nikah, berhenti kuliah, dan sekarang, laki-laki yang berstatus sebagai suaminya berlaku dingin padanya. Kenapa dia? Kenapa harus Luna?
Luna dilambungkan sangat tinggi saat Azka mau makan dengannya, terlalu senang seolah kakinya tak menapak lantai. Lalu saat ini, ia dijatuhkan, dilemparkan kedasar jurang terdalam yang membawa efek menyakitkan.

Air mata Luna tak mau berhenti, terus mengalir deras. Sekeras apapun ia mencoba menahannya, sebesar itupula rasa sakit tersebut menyeruk dihatinya. Luna marah, ia benci dengan dirinya yang terlalu cengeng seperti ini. Padahal dokter sudah memperingatinya agar tidak stres. Sayangnya, mungkin hal tersebut tidak bisa ia lakukan akhir-akhir ini, tidak disaat masalahnya seolah semakin memburuk.

Kringgg

Handphone Luna berdering. Terdengar nyaring dari saku terusan yang ia pakai. Dengan menahan air mata dan tanpa melihat siapa si penelpon, Luna mengangkat handphone tersebut.

"Ha-lo..." kata Luna kaku berusaha meredam suara tangisannya yang sepertinya percuma, karena tak berhasil ia tutupi. Hal yang justru membuat seseorang diujung telpon cemas.

"Halo Luna, kamu baik-baik saja? Ada apa?" Suara diseberang berseru khawatir.

Terkejut. Luna semakin merapatkan mulutnya, menutupnya dengan sebelah tangan. Ia melihat id caller, dan semakin terkejut.

"Halo Luna? Luna? Kamu baik-baik saja? Kamu masih disana?"

Luna termenung. Menatap layar telponnya. Kenapa disaat seperti ini dia harus menelpon?


●●●




TBC

28/08/2018
T U P A I K E C I L

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang