31.1 - Confusion

634 40 6
                                    


•●•

Canggung. Berada di satu kamar rumah sakit berdua dengan seseorang yang kau celakai. Lebih tepatnya, dicelakai oleh orang lain karenamu. Apalagi melihat  kondisi seseorang tersebut yang kurang baik. Sungguh Luna sangat merasa bersalah.

Luna berusaha menyamankan diri dikursi kamar rawat itu. Sedikit merasa aneh dan bersalah karena baru saja datang sekarang. Harusnya ia datang sejak awal Alvin masuk rumah sakit. Tapi, disinilah sekarang dirinya duduk layaknya orang bodoh yang tak tahu harus memulai darimana.

"Apa kabarmu kak?" Luna berusaha tersenyum.

Alvin menggumam kecil. "Seperti yang kau lihat." Jawabnya diiringi senyum kecil.

"Maafkan aku, sungguh, Luna tidak pernah ingin kakak berakhir seperti ini" Luna menunduk menyimpam air mata yang sudah akan tumpuh. Sungguh memalukan jika ia menangis sekarang.

"Apa sakit? Apa kakak masih merasa sakit?"

Untuk kedua kalinya Alvin bergumam. Merasa bersalah melihat wajah bersalah Luna yang berusaha ditutupi dengan senyum oleh perempuan itu. "Tapi sudah lebih baik. Tenang saja....kalau kau khawatir"

Luna segera mengangguk cepat. Membenarkan ucapan Alvin. Ia sangat khawatir dan takut saat tahu Alvin harus di rawat beberapa hari di rumah sakit. Rasa khawatir itu kemudian bertumpuk dan membuatnya takut apabila keadaan Alvin akan lebih buruk dari terakhir kali dilihatnya malam itu. Sekilas bayangan katika Azka memukul Alvin melintas dikepalanya. Pasti sakit sekali. Azka terlalu kasar.

"Hey...Luna, apa yang kau pikirkan, hm?" Luna menggeleng cepat, meminta maaf. Ia tidak terlalu fokus. "Tidak pa-pa."

Beberapa saat kemudian suara pintu yang diketuk terdengar dan memunculkan seorang suster dibaliknya sedang  membawa nampan obat.

"Waktunya minum obat Pak Alvin" Suster tersebut tersenyum ramah. Sedikit melirik risih kearah Luna.

Luna yang dipandangi seperti itu merasa kecil. Kembali merasa rendah. Suster tersebut pasti berpikiran sama, seperti orang lain yang sering dijumpainya selama ini. Perempuan muda yang tengah hamil. Mereka pasti akan langsung berpikiran negatif. Meski memang yang mereka pikirkan adalah benar, namun tidak seharusnya mereka melihat orang lain seperti itu bukan?

Alvin melihatnya. Wajah Luna yang menahan air mata. Perasaan rendah diri dan berkecil hati perempuan itu sangat jelas. Tak dapat disembunyikan.

"Suster.. Saya rasa, anda tidak usah mengantarkan obat saya lagi nanti!"

Suster itu terkejut, begitupun Luna yang sedang berdiri kaku di posisinya. Ia tak tahu apa yang terjadi, setahunya suster tersebut kemudian keluar dengan wajah kurang bersahabat dengan tak lupa memandang tajam ke arah Luna.

"Terima kasih kak..."

"Sama-sama."

Bersamaan dengan suster itu yang keluar, Luna juga pamit pulang. Tak lupa ia meninggalkan bekal makanan yang sudah ia siapkan untuk Alvin. Sebab untuk membeli parsel atau hal-hal lainnya uang Luna tidak cukup, kesini saja ia harus menggunakan kendaraan umum, berdesak-desakkan dengan usia kandungannya yang sudah besar. 6 Bulan. Mungkin orang akan memandangnya kasihan, hanya saja ia tidak ingin menggunakan uang Azka. Terlalu takut jika tiba-tiba ia terbiasa dan nantinya susah untuk lepas dari ketergantungan yang mengikat itu. Alhasil, Luna berusaha bertahan dirumah Azka meski harus mengandalkan uang tabungannya sendiri. Setidaknya ia mulai mempersiapkan diri jika saja ceria adalah salah satu pilihan yang harus ia pilih.

Berbicara soal ceria. Luna ingat kata-kata Tasya waktu itu. Saat hujan diluar jendela cafe terus menghantam bumi. Seolah merasakan kesedihan yang Luna alami.

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang