30

710 37 5
                                    

•●•

Kalau awan mendung tidak mau pergi, maka tidak ada harapan selain menunggu hujan datang mengguyur bumi.

Suasana diluar cafe ramai dengan orang-orang yang berlari kesana kemari. Hujan yang sudah berlangsung selama satu jam membuat emperan setiap toko penuh dengan pengguna jalan yang berteduh. Ada anak kecil, remaja, dan dewasa.

Luna sendiri sedang duduk ditemani secangkir teh cammomile. Sudah lebih dari tiga puluh menit Luna menunggu Tasya. Namun karena cuaca yang sedang tidak bersahabat dan kemacetan panjang menjadi penghalang gadis itu tuk sampai.

"Luna..."

"... maaf terlambat, tahu sendirilah gimana cuaca" Tasya menarik kursi dihadapan Luna. Sesekali tangan gadis itu menepuk-nepuk jaket yang ia kenakan karena percikan air hujan saat berlari ke cafe tadi.

"Gimana kuliahmu?" Luna bertanya. Membuka percakapan terlebih dahulu.

Tasya mengedihkan bahu. Mengangguk malas, sebelum menjawab "Ya, begitulah. Gak ada yang menyenangkan setelah kamu keluar." Sontak ucapan tersebut membuat suasana menjadi redam seketika.

Luna menyesap tehnya kembali, berharap perasaan sedih yang tiba-tiba datang menggerogoti segera pergi.

Dengan tersenyum canggung, Luna menatap Tasya yang sudah menunjukkan wajah bersalah yang teramat sangat.

"Bisa aja sih sya, jangan-jangan kamu terlalu merindukan contekanku daripada aku, lagi?!"

"Huu dasar, mentang-mentang pintar," cibir Tasya, namun tak ayal Luna tertawa juga dibuatnya.

"Eh pesan minum dulu sana" Tegur Luna.

Beberapa menit kemudian pesanan Tasya datang. Secangkir kopi hitam dengan velvet cake yang terlihat menggiurkan tersaji diatas meja. Bagai orang kesetanan, Tasya segera memakan cakenya dengan terburu-buru.

"Nggak berubah. Cafe ini tetap sama sejak awal kita kuliah dulu!"

Luna mengangguk menyetujui. Cafe ini bisa dibilang merupakan salah satu saksi hidup Luna. Saat sedang senang, marah atau sedih, cafe ini selalu membuka pintunya untuk Luna. Cafe yang beroperasi selama kurang lebih 14 jam sehari ini, selalu menjadi pelarian Luna dari masalahnya. Sun Cafe. Terletak disudut kota dengan suasana nyaman yang seolah memanggil setiap orang agar mau menginjakkan kakinya. Didominasi warna cokelat dan biru yang mampu menstimulus otak agar menjadi tenang.

Belum lagi makanan dan minuman yang disajikan selalu enak. Tentu dengan harga yang lumayan bersahabat bagi kantong mahasiswa. Tempat yang sangat pas bagi kaum muda dengan dompet tipis, namun ingin bergaya seolah-olah seluruh dunia miliknya alias kaya. Cafe yang bagus dengan desain kayu dimana-mana yang membuatnya terlihat expensive dari luar.

"Gimana ponakanku? Sehat?"

Suara Tasya bercampur dengan bunyi air hujan dari luar, menggema dan menambah sensasi menyejukkan bagi telinga Luna.

"Ya, luar biasa. Akhir-akhir ini pergerakannya semakin aktif"

"Benarkah?" Wajah bahagia Tasya tersenyum.

"Yup, terkadang aku harus menahan kram karena pergerakannya," akuh Luna dengan senang. Sejenak lupa dengan tujuan awalnya mengajak Tasya untuk bertemu.

"Lalu bagaimana dengan Azka? Apa reaksinya tentang bayi kalian?" Ceplos Tasya yang hanya berfokus pada cake dihadapannya.

Luna terdiam, menghentikan pergerakkannya yang akan menyesap teh panas dihadapannya. Ia tersenyum lesu, dengan bahu lunglai yang membuat kening Tasya berkerut dalam.

"Kenapa?"

"Kalau aku bercerai, menurutmu bagaimana?"

●●●

Seorang pria tengah terduduk lesu disudut ruangan. Hari ini semua pekerjaannya berantakan. Pemotretan, CF iklan dan bahkan syuting film terbarunya tertunda gara-gara fokusnya yang pecah dan menyebar kemana-mana.

"Minum!" Mbak Riri menyodorkan sebotol air mineral kearah Azka yang langsung disambut hingga tandas oleh pria itu.

"Kenapa lagi? Istrimu?" Tanyanya tepat sasaran, membuat Azka mengangguk lesu.

Dua hari sudah ia dan Luna berlaku selayaknya orang asing. Wanita itu selalu bergetar takut saat tak sengaja menatapnya setiap kali mereka berpapasan di apartemen. Luna memang masih bersikap selayaknya seorang istri, hanya saja tidak pernah ada kontak fisik yang terjadi diantara mereka. Luna seolah berusaha tidak menampakkan keberadaannya di apartemen, hal yang membuat rasa bersalah Azka semakin besar.

"Mbak memang tidak tahu apa masalahmu, tapi mbak harap itu bisa cepat selesai. Ingat Azka, kamu itu publik figur, hidupmu bukan hanya milikmu sendiri!" Nasihat Mbak Riri sebelum pergi meninggalkan Azka dengan sejuta penyesalannya.

"Apa yang udah gue lakuin?!"

●●●

Usia kandungan Luna tepat menginjak 6 bulan saat ini. Tepat 4 hari ia menghindari Azka. Kata dokter, tidak ada yang salah dengan kandungannya, bayinya sehat walaupun ibunya lumayan stress dan kelelahan. Mungkin bukan lelah fisik, tapi lelah batin tepatnya.

Pagi ini Luna terbangun dengan suasana hati yang lebih baik. Setidaknya ia tidak mau terlalu larut dalam masalahnya, sebab masih ada hal lain yang membutuhkan perhatiannya. Alvin. Semenjak kejadian di depan apartemen 4 hari lalu, Luna belum sama sekali menghubungi Alvin dan menanyakan kondisinya.

"Aku harus menelpon kak Alvin!" Serunya cepat.

Tuts handphone berbunyi ditengah ruangan kamar, hanya tinggal menunggu si penerima mengangkatnya di ujung sana.

Deringan pertama berlalu tanpa ada tanda-tanda akan diangkat, hingga Luna baru saja akan mematikan sambungan tersebut, dering diujung sana berhenti digantikan suara serak si penerima.

"Halo?"

"Ini Luna kak"

●●●

TBC

Sorry for long update story, that's ma fault so i hope u guys will understand ma condition.
Ini pendek banget, tapi yang penting updatekan, mohon maaf sekali lagi buat semua yg udah nunggu cerita ini sejak beratus-ratus tahun lalu.

See u guys, and happy reading!!!

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang