28 - Fight

689 42 1
                                    


•●●•

     Tergesa-gesa. Luna menghapus air matanya. Ia segera menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya kembali. Setelah merasa cukup, Luna kembali menempelkan benda persegi panjang yang sudah ia anggurkan sejak tadi ketelinganya.

"Halo kak...." sayangnya, getaran tertahan akibat menahan isakannya sendiri masih terlalu jelas pada suaranya, dan sipenelpon diujung sana bukanlah orang tuli yang tidak bisa menangkap getaran tersebut.

"Aku didepan apartemenmu, bisa kamu kemari?" Helaan napas Alvin terdengar keras diujung telpon. Ia tahu Luna tidak baik-baik saja. Hal itu membuat Alvin khawatir pada perempuan yang sudah menjadi istri orang tersebut.

"Ah, ta-pi aku-"

"Kamu meninggalkan dompetmu di mobilku!" sergah Alvin cepat. Ia tidak berbohong, Alvin mengatakan hal yang sebenarnya. Alasan pertama laki-laki itu masih ingin melihat Luna dalam area pandangnya, terlalu merindukan mungkin. Alasan kedua, hanya orang bodoh yang tidak bisa menangkap isakan tertahan pada suara Luna. Alasan yang semakin membuat Alvin ingin bertemu perempuan yang dicintainya itu sesegera mungkin.

"Baiklah, kak Alvin tunggu sebentar."

Telpon itu mati. Luna segera menyeka air matanya yang masih terus mengalir. Sebelum hendak keluar, ia masih menyempatkan diri berbalik kearah pintu kamar Azka. Apa kira-kira yang Azka lakukan didalam sana? Kenapa tadi laki-laki itu pergi begitu saja? Apakah Luna melakukan kesalahan tadi?

Waktu bergulir lambat saat Luna masih berdiri didepan pintu. Tangannya berada pada gagang pintu, namun kepalanya masih setia berbalik kearah kamar Azka. Hingga pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan Azka yang terlihat segar. Jelas sekali, laki-laki itu pasti baru saja mandi. Rambutnya basah, satu dua aliran kecil terlihat dipelipisnya. Pakaian casual yang Azka kenakan membuat ketampanan laki-laki itu berlipat ganda. Terlihat sangat menggoda bagi kaum hawa yang memandang. Dan jangan lupakan tatapan matanya yang menyorot tajam diikuti garis rahang kokoh. Sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa.

Tampan sekali, jerit batin Luna seolah tak tahu diri.

Sama halnya dengan Luna yang sedang berdiri terpaku diujung pintu, Azkapun masih berdiri didepan pintu kamarnya. Tujuan awalnya adalah mengambil air dingin didalam lemari es, sekaligus melihat Luna tentu saja. Tapi siapa sangka, detik berikutnya ketika ia membuka pintu, perempuan mungil denga mata hitam polosnya itu sedang berdiri menatapnya. Terlihat kecil dengan perut membesar. Hasil kesalahannya.

"Kamu mau kemana?" suara Azka memecah kesunyian. Mengembalikan hayalan Luna yang sudah melayang kesana kemari.

"Aku akan keluar sebentar!" Luna berucap cepat setelah ia hampir saja melupakan Alvin yang sedang menunggunya.

"Permisi!" Lanjutnya saat merasa Azka sudah tidak peduli lagi dengan urusannya.

Satu kali tarikan dan pintu terbuka. Luna berjalan cepat keluar apartemen, buru-buru menggapai lift yang ada. Cepat sekali. Sebelum lift itu menutup, Azka menerobos masuk. Tubuhnya yang tinggi dan besar terasa menyesakkan jika berdiri disamping Luna yang kecil. Luna bergeser, membiarkan dirinya berada disudut terjauh dari Azka. Hatinya masih terlalu sakit saat laki-laki itu pergi begitu saja usai ia menunjukkan hasil foto janinnya. Pada dasarnya Luna terlampau marah pada dirinya sendiri. Seharusnya, sedari awal Luna sadar, dunianya dan Azka berbeda. Ia hanya orang kecil sedangkan Azka, seorang bintang besar.

Luna meremas jemarinya. Ia menatap kearah depan, pada pantulan bayangan dirinya didinding lift yang seperti kaca. Sedari tadi hanya ia yang memencet tombol, Azka tidak melakukannya sama sekali.

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang