15 - Cokelat

773 42 0
                                    


Seakan masih ada diantara pintu penghubung dunia nyata dan dunia imajinasinya. Didepan pintu, Luna masih berdiri menatap Azka yang juga tengah menatap lurus kearahnya.

"Lo beneran gak bakal biarin gue masuk ya?" Kalimat pertama yang diucapkan salah satu diantara mereka menarik Luna kembali kedunia nyata.

Nyata. Kini didepannya Azka tengah berdiri menatap lurus kearahnya yang berdiri bagaikan sadel pintu didepan pria itu. Secepat kesadarannya ditarik kedunia nyata, secepat itu pula kelebat bayangan mengenai siaran televisi tadi pagi menyeruak masuk kedalam kepalanya. Dan terpujilah hormon kehamilan yang sangat mengganggu membuat Luna dengan cepat merasa marah pada pria ini.

"Ada apa anda kemari?" Kata-kata ketus itulah hasil dari kumpulan lava yang kini sudah menunggu untuk meluap.

Memang kau siapanya, kau hanya gadis yang tidak sengaja dihamili oleh si aktor ini. Kau tidak berhak untuk marah!

Dirinya mengutuk perasaanya saat ini. Kenapa harus marah? Toh, mereka memang tidak memiliki hubungan apa-apa.

"Gue datang buat lihat keadaan lo" jawab Azka jujur. Selama perjalanan menujuh kemari pikirannya sudah dipenuhi oleh gadis mungil ini. Dan ternyata sambutan ketus yang ia dapatkan setelah menempuh jalanan macet khas kota besar di Indonesia.

Sontak perkataan Azka membuat semburat merah menjalar naik ke pipi Luna, namun dengan cepat Luna segera merubah ekspresinya "Kondisi saya baik-baik saja. Itu sajakan yang ingin anda tanyakan. Kalau begitu silahkan pergi" jawab Luna dengan perasaan gugup luar biasa.

"Gue kesini itu gak mudah, harus macet-macetan dulu dan dengan gampangnya lo suruh gue pulang?" Seru Azka melongo, yang justru membuat semburat merah dipipi Luna kian memanas.

"Dan hey, terakhir kali lo ngomong sama gue itu pake aku-kamu, jadi sekarang kenapa lo ngomong pake anda-saya lagi ke gue?" Ujar Azka menuntut. Dengan berani, lelaki itu bahkan menyudutkan Luna di depan pintu, membuat Luna terkurung diantara tubuh kekar Azka dan kerasnya pintu dibelakangnya.

Rasanya benar-benar seperti de javu bagi Luna. Keadaan ini sama persis seperti pada saat mereka berdua dikejar-kejar wartawan kala itu.

"I-itu mau-mau saya! Lagipula kita tidak dekat untuk menggunakan aku-kamu" jawab Luna susah payah. Susah mengendalikan napas dan jantungnya yang kini bertalu-talu.

Aku benci situasi ini..

Azka semakin merapatkan tubuhnya kearah Luna. Membuat perempuan itu kehilangan orientasi terhadap lingkungan sekitarnya. "Jadi menurut lo kita gak dekat?" Bisik Azka pelan didepan wajah Luna. "Bukankah sekarang kita sudah sangat dekat?" Seringai kecil menghiasi wajah Azka membuat pria itu menjadi tampan berpuluh-puluh kali lipat. Hal itu membuat Luna terpaku pada mata cokelat cerah didepannya.

"I-itu-"

"Apa? Bukankah ini sudah dekat, Luna? Atau kurang dekat?" Luna merasakan desiran halus menjalar disepanjang tulang belakang hingga tengkuknya saat mendengarkan Azka menyebut namanya. Perasaan aneh yang anehnya membuat Luna merasa nyaman.

"Ja-jarak kita terlalu dekat. Bergeserlah sedikit Az-ka.." cicit Luna pelan. Ia menundukkan kepalanya. Jika terlihat dari arah belakang punggung Azka, Luna terlihat seakan sedang membenamkan wajahnya didada pria tersebut.

"Terlalu dekat ya? Kalau begitu kedekatan seperti apa yang bisa membuat lo berhenti memanggil gue dengan sebuatan anda, hm?" Azka menatap perempuan mungil dihadapannya. Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu kenapa ia menyudutkan Luna seperti ini. Ia hanya merasakan dorongan untuk melakukan hal ini. Entah untuk kesenangannya menjahili perempuan ini ataupun hal lainnya. Azka sama sekali tidak tahu.

What a Beautiful Disaster [Book #1 Dirwanaka Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang