Ratya membenamkan wajahnya di bantal. Sesekali ia mengecek ponselnya. Menghidupkan data seluler, masuk aplikasi WhatsApp, keluar, dan mengakhiri kegiatan itu dengan mematikan data seluler lagi karena tidak ada pesan yang masuk.
"Kamu ngapain sih? Daripada kayak gitu mending sini deh makan rujak sama kita."
"Jangan ganggu dulu, Na. Dia lagi meratapi nasib hapenya yang sepi kayak hati."
Afka dan Naja yang memang sepulang sekolah mampir ke rumah Ratya pun tergelak. Ratya tidak menanggapi, ia tetap pada posisi tengkurapnya.
"Lagi nggak sempet buka hape, kali. Atau jangan-jangan emang nggak boleh bawa hape?" tanya Naja sambil mencocol irisan buah nanas ke bumbu rujak.
Ratya menatap layar ponselnya dengan nanar. "Hmm, iya, ya? Kan lagi diklat."
Afka terbatuk saat jawaban Ratya tercetus. "Oh, jadi bener lagi nunggu chat dari Ravi?"
Ratya segera bangun dan turun dari tempat tidur. "Enggak kok--"
Kalimat Ratya menggantung karena kaget melihat kondisi meja belajarnya yang kini mirip kandang kuda. Komputer dibiarkan menyala, novel-novel yang tadinya tertata rapi sekarang berjatuhan, bahkan parfum dan bedak yang semula ada di meja rias sudah berpindah tempat di atas tumpukan buku pelajarannya.
"Kalian--" Ratya menggeram, bingung mau bicara apa lagi.
"Tadi mau lihat-lihat foto di komputermu, terus kebelet pipis. Pas balik, udah ada rujak. Jadi makan dulu. Sayang kalau dianggurin, buahnya seger."
Naja mengangguk. "Pas mau nyobain parfum, nggak sengaja novelnya kesenggol. Mau diberesin sih, tapi Mama kamu keburu dateng ngasih ini."
Kapan Mama masuk? Kok aku nggak nyadar?
"Udah ayo sini, colak-colek bumbu sama kita." Afka menepuk ubin sebelahnya agar Ratya bergabung.
"Perut kalian nggak penuh gitu? Makan siang habis tiga piring masih nyemil rujak? Katanya mau belajar bareng? Cih, ini aku yang dirugikan."
"Gini nih, kalau anak tunggal. Baru kamarnya berantakan sekali udah angry banget. Belum tau rasanya lemari dijajah sama adik, sih. Kamar bisa lebih kacau dari ini." Afka mengamati kamar Ratya yang didominasi warna merah dengan saksama.
"Woi pot bunga, ini nggak ada hubungannya sama anak tunggal, ya? Ini tanggung jawab kalian sebagai perusuh mana?!"
Pintu kamar terbuka, disusul masuknya Rinda. "Ra, kenapa marah-marah gitu?"
"Ini loh, Tan. Ratya pengin punya saudara katanya. Biar nggak jadi anak tunggal."
Ratya melayangkan pandang ke arah Naja. Nih anak! Maksudnya mama disuruh nikah lagi? Ya ampun itu mulut nggak bisa dikondisikan emang.
Sesuai yang Ratya duga, mamanya kaget dan tampak kesulitan mengontrol raut wajahnya.
"Beresin dah, terus belajar. Ayo anak-anak bangun!" Ratya bergerak mengumpulkan novelnya untuk memperbaiki suasana. Afka dan Naja mau tidak mau ikut membereskan rujak mereka.
"Ratya sebenernya emang punya saudara."
Novel yang berhasil dikumpulkan ditaruh sembarangan di atas papan ketik komputer. Gerakan kedua teman Ratya pun seketika berhenti.
"Maksudnya? Aku bukan anak adopsi, 'kan?" Ratya meminta penjelasan. "Aku bukan dari panti asuhan yang Mama angkat jadi anak, terus jadi kepisah sama kakak atau adik aku kan, Ma?"
Afka dan Naja memilih untuk diam. Sedangkan Rinda menatap Ratya dengan mata berkaca-kaca tapi berhasil diseka saat Ratya lengah.
Setelah berhasil menenangkan perasaannya, Rinda menghela napas panjang. "Kayaknya Mama kalau masak tuh micinnya dikit, deh. Kok kamu masih lemot ya? Jangan samakan real life dengan drama. Saudara kamu kan Kevin."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Teen FictionEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...