"Ikut gue!"
Hampir semua anak yang sudah datang pagi itu menoleh ke ambang pintu kelas, lalu menghela napas merasa tidak rela Ratya dibawa Arga pergi. Bukan karena kasihan, tapi mereka sedih tidak bisa meminjam buku PR gadis itu.
Sementara Ratya sendiri tidak banyak membantah. Ia menurut tangannya ditarik cowok yang terlihat cemas itu. Dia mengira mereka akan menghadap pembina ekskul untuk membicarakan masalah kemarin. Ratya menduga pasti Pak Fajri tetap bersikukuh mengikutkan Ratya lomba mendaki, sebab itu Arga sampai resah begini.
"Kita mau ke mana?" Ratya bertanya untuk memecah keheningan.
"Lapangan basket."
Ratya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya, antara takut dan juga merasakan perutnya yang tidak nyaman dari bangun tidur. Di bayangannya sudah tergambar Pak Fajri menunggu di lapangan sana dengan wajah kaku tidak mau dibantah.
Sampainya di tempat tujuan, Ratya hanya menjumpai beberapa siswa yang bermain basket one on one di berbagai sisi lapangan juga satu dua siswa yang duduk di bangku semen menikmati cahaya matahari pagi. "Eh, Pak Fajrinya mana?"
Arga menoleh bingung, tangannya yang sedang merogoh tas terhenti sejenak demi melihat Ratya yang seperti memindai hampir seluruh badan lapangan. "Lah, emang Pak Fajri bilang mau ketemu kita di sini?"
"Bukannya kita ke sini mau ngobrol serius sama Pak Fajri?"
Mau tidak mau cowok yang kini telah menemukan benda cariannya itu tersenyum geli. "Sok tau banget, sih." Arga menyerahkan ponsel pintarnya yang segera Ratya terima dengan raut bingung. "Tolong lo rekam praktik lay up gue," katanya sambil panik lagi. Kemudian Arga memberi kode pada siswa di pojok lapangan supaya melemparkan bola basket padanya.
Ratya meringis lalu memandang sekitar. Gadis berambut pendek itu pun segera paham bahwa perekaman video yang Arga minta adalah tugas mata pelajaran penjaskes dan cowok itu belum mengerjakan padahal hari ini tenggat waktu pengumpulannya.
Seperti mengetahui pikiran Ratya, Arga tanpa ragu menjelaskan alasan kenapa ia sampai belum bisa mengerjakan tugas tersebut. "Asal lo tau, ini tugas bareng teman sebangku. Jadi gue nggak sepenuhnya bersalah karena Ravi kan emang lagi latihan. Gue kehilangan pasangan."
"Kamu duduk sebangku sama Ravi?" Ratya tidak percaya. Di kelas sebelas ini Ravi dan Arga memang berada di kelas yang sama. Jika mengingat bagaimana mereka selalu menunjukkan sikap bermusuhan tiap kali bertemu, mustahil rasanya dua cowok itu bisa duduk bersama.
Arga mendengkus. Dia manyun karena Ratya langsung semangat saat nama Ravi disebut. "Ya," jawabnya.
Mendengar singkatnya sahutan Arga, decakan kecewa pun lolos dari bibir Ratya. "Jutek banget."
Arga memutar bola mata. Seharusnya Ratya berkaca, tiap kali mereka ngobrol pasti gadis itu juga sering bersikap ketus. "Terus gue harus bilang, 'Iya dong Ra, gue duduk sama Ravi. Maaf banget ya, baru cerita sekarang.' gitu?" tanyanya dengan gaya menyebalkan.
"Ya nggak gitu juga kali." Ratya berkilah dengan jari menggeser layar ponsel Arga mencari menu kamera. "Omong-omong, kamu tuh emang males. Kalau Ravi nggak ada, ya minta bantuan siapa gitu buat gantiin dia," omelnya tanpa beralih dari ponsel.
"Ya ini gue kan minta bantuan elo, Ra." Arga sudah gemas ingin memasukkan Ratya ke dalam karung kalau bisa.
"Tapi jangan mepet gini lah. Hari ini dikumpulin, hari ini juga kamu baru ngerjain."
Arga mengibaskan tangan. Masa SMA tidak seru jika belum pernah berbuat ulah, begitu kira-kira maksudnya. Kemudian ia segera bersiap, tapi langsung mengernyit saat melihat Ratya mengurut pinggangnya. "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Ficção AdolescenteEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...