Setelah semua menemukan barang-barang yang disembunyikan senior di sekitar lapangan belakang, para junior berbaris di lapangan upacara dengan keadaan gelap total.
Angin malam berembus membelai kulit mereka. Dalam keheningan, cuplikan film horor yang ditonton sebelum mereka tidur mulai terlintas. Mereka baru menyadari tujuan senior menyuguhkan film menyeramkan tadi adalah untuk membangkitkan perasaan ngeri saat jurit malam.
"Semua Capaska maju!"
Ketujuh teman Ratya balik kanan lalu melangkah ke depan dengan hati-hati karena tidak ada cahaya yang bisa memperjelas pandangan.
Kemudian Kak Baron dan lima senior lain menyalakan senter. Mereka memberi anjuran kepada junior agar hati-hati di jalan. Junior diarahkan menuju lapangan umum yang letaknya lebih kurang lima kilometer dari sekolah.
Para Capaska yang sudah maju ke depan diperintahkan untuk berangkat terlebih dahulu. Setiap junior akan berjalan satu per satu dengan selang waktu lima menit, agar jarak satu sama lain tidak terlalu dekat. Tidak lupa senior membekali adik-adiknya sebuah lilin dan korek api.
Bagaimana dengan Kak Riko? Tampaknya amarah Kak Riko berhasil diredam oleh teman-temannya. Maka dari itu, Ravi diperbolehkan membawa lilin sebagai alat penerangan. Tetapi, bukan Kak Riko namanya kalau membebaskan seseorang yang menurutnya bersalah tanpa hukuman.
Sebagai gantinya, Ravi harus melewati rute perjalanan yang berbeda dari teman-temannya. Jika junior lain menuju utara, lain halnya dengan Ravi. Dia harus menempuh perjalanan dari jalur selatan sesuai hukuman yang Kak Riko tentukan.
Ratya merasa kasihan kepada Ravi. Hanya gara-gara debat tentang tas punggungnya, Ravi mendapat masalah.
Sebenarnya meskipun melewati rute yang berbeda, Ravi tidak akan tersesat. Pemuda itu pasti hapal di luar kepala jalanan di kota kelahirannya sendiri. Masalahnya adalah, rute yang ditempuh Ravi lebih jauh. Bahkan untuk menuju lapangan, Ravi harus melewati pinggiran sungai yang katanya berhantu.
Dengan pikiran yang terus merasa bersalah, Ratya sampai tidak sadar bahwa giliran jurit malamnya telah tiba. Ratya harus rela mendapat bentakan karena tidak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri.
"Telinganya hilang, ya?! Dipanggil dari tadi bukannya cepat merespon malah bengong. Ayo sini maju!"
Sebelum memenuhi panggilan seniornya, Ratya membenarkan letak tali tas di punggungnya untuk memastikan tasnya baik-baik saja. Tidak lucu kalau nanti di tengah perjalanan tiba-tiba tali tasnya putus. Setelah yakin tasnya aman, Ratya segera menarik langkahnya dengan mantap. Aku siap jurit malam!
"Ini lilin dan korek api kamu. Setelah ini langsung jalan ke utara. Nanti sampai di pertigaan ada senior yang akan memberi petunjuk selanjutnya. Mengerti?"
"Siap, mengerti!"
Ratya bergegas keluar dari area sekolah. Ia menyimpan korek api dan lilin di saku celana training-nya. "Kalau mau ke lapangan kan lewat jalan raya. Ngapain dibekalin lilin segala, sih?" Ratya bermonolog dengan dahi berkerut.
Setelahnya Ratya mengedikkan bahu, ia tidak mau ambil pusing. Yang terpenting sekarang adalah, ia ingin segera sampai di pos pertama. Maka dari itu, Ratya mempercepat jalannya.
Dengan keadaan basah oleh keringat, akhirnya Ratya sampai di pos pertama. Berjalan terburu-buru ternyata cukup menguras tenaga. Di pos pertama ada dua senior dan Dina yang tengah duduk berselonjor. Rupanya Dina sedang beristirahat sembari menunggu Ratya datang.
"Silakan lanjutkan perjalanan. Masih ingat penjelasan rute yang tadi, kan?" tanya salah satu senior kepada Dina.
Dina hanya mengangguk. Lalu ia berdiri dan tidak usah diperintah dua kali ia langsung bergegas pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Teen FictionEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...