Part 34

700 70 21
                                    

Enam tahun setelah lulus SMA

Arga melajukan mobil dengan bosan. Hilir mudik kendaraan di Jalan Jawa sebenarnya ramai lancar. Tapi karena hati dan pikirannya sedang kesal, senormal apapun kondisi lalu lintasnya tetap tidak bisa membuat emosi pemuda berkumis tipis itu melunak.

Menyadari Arga sedang marah entah karena apa, Ratya hanya bisa tersenyum miris lalu mengembuskan napas lelah. Ia baru tiba di Jember setelah menaiki kereta api dari Jakarta. Tentu badannya pegal dan butuh sesuatu yang segar. Tapi kenyataannya, orang yang berada di balik kemudi itu malah menyambutnya dengan wajah keruh. "Aku tuh capek, Ga. Apalagi kalau kamu cemberut kayak gitu malah nambahin pikiran tahu, nggak?"

Arga hanya melirik Ratya sebentar lalu kembali fokus mengemudi, memastikan mobil belok ke kanan memasuki Jalan Karimata dengan aman. "Lagian mampir ke radio Prosalina segala mau ngapain sih, Ra? Aku juga capek, pengin cepet istirahat di rumah."

"Kalau nggak ikhlas nganter ya udah turunin aku. Aku bisa cari ojek, kok," sahutnya menantang sembari melengos memandang luar, yang kemudian membelalak sembari menunjuk sebuah bangunan bercat hijau dengan kombinasi putih yang kini tertinggal di belakang. "Radionya kelewatan!"

"Emang sengaja aku bablasin," sahut Arga tanpa dosa. Kemudian ia menggerakkan dagunya hinga  membuat Ratya segera meneliti apa yang terjadi di depan sana. Satu meter dari posisi mereka ternyata tampak jelas traffic cone berjejer. Suara peluit pun terdengar bersahutan. "Jalan bareng kamu jadinya kena razia, nih."

"Bodo amat sama razia! Radionya kelewatan!" Ratya menoleh kembali ke belakang dengan penuh emosi.

"Nanti pas SIM sama STNK diperiksa, kamu bisa turun. Jalan kaki bentar ke situ nggak capek, kan?" tanya Arga tepat saat seorang polisi memberi tanda untuk menepi.

Tanpa kata Ratya mengeluarkan sesuatu dari tas warna ungunya. Sebelum turun ia memandang Arga yang sedang memutar-mutar cincin pertunangan yang melingkar di jari manisnya. "Kalau ada masalah cerita, dong. Terbukanya jangan cuma sama Naja doang kali, Ga."

"Ra, posisi kamu sama Naja kan--"

"Beda," sela Ratya dengan wajah datar karena bosan mendengar alasan yang itu-itu saja. "Ya udah lah. Kalau emang nggak dianggap penting aku bisa apa?"

"Kok ngomongnya gitu, sih?"

Mengembuskan napas kesal, Ratya membuka pintu dan keluar dengan mood berantakan. Mengabaikan Arga yang menyerukan namanya.

"Mau ke mana, Mbak?"

Ratya memandang polisi wanita yang tahu-tahu sudah berdiri di samping mobil Arga itu sembari memaksakan senyum. "Mau ketemu teman, Bu. Sudah janjian di depan studio Prosalina."

Polisi wanita tersebut mengangguk lalu tatapannya jatuh pada undangan pernikahan yang Ratya bawa. "Semoga lancar sampai hari-H," ujarnya sambil memperhatikan Ratya dan Arga yang ada di dalam mobil secara bergantian. Tidak lupa ia juga tersenyum penuh arti.

Hanya tawa garing yang bisa Ratya gunakan untuk membalas ucapan polwan muda yang menjulang tinggi di depannya itu. "Maaf Bu, saya permisi dulu."

〰〰

"Kak, mobilnya kenapa terus? Mending tadi berhenti, daripada sampean harus jalan kaki balik ke sini," cecar Dea saat Ratya sampai di hadapannya.

"Pak supirnya lagi kebakaran jenggot, De."

Adik kelas yang dulu ikut ekskul fotografi itu tersenyum tipis sambil mengusap pelan bahu Ratya, bermaksud untuk menyemangati. "Eh, kakak emangnya nggak ngajar, ya? Kok tumben liburan ke Jember?"

I Choose You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang