Part 25 (b)

614 72 14
                                    

"Dina, berdiri!"

Dina segera berdiri di samping Ratya yang baru datang. Ia masih menunggu penjelasan rute untuk menuju pos tiga. Keduanya menatap Kak Riko dengan harap-harap cemas. Di pos kedua ini tidak ada tikar seperti di pos sebelumnya. Dina tadi hanya duduk beralaskan tanah berbatu yang keras, sama seperti penjaganya.

"Tolong kalian berdua carikan tikar yang tersembunyi di sana." Kak Riko menunjuk sebuah tempat pemakaman umum dengan dagunya.

Ratya dan Dina terhenyak. Seperti disambar petir di siang bolong, mereka tudak menyangka akan mendapat tugas semacam itu.

"Kalian berdua boleh melanjutkan perjalanan jika sudah menemukan tikarnya."

Ratya dan Dina saling berpandangan. Jelas meraka tidak berani menjelajahi makam di tengah malam seperti ini. Jangankan malam, siang saja pasti mereka akan lari terbirit-birit juga.

"Ayo, segera cari!"

Mau tidak mau kedua gadis itu lekas beranjak untuk mencari tikar kesayangan Kak Riko. Dina memimpin di depan, sementara Ratya mengekor di belakangnya sambil komat-kamit membaca doa.

"Ra, tunggu."

Ratya tertegun, baru saja ia akan memasuki area pemakaman tapi Kak Riko memanggilnya. Ratya ingin memanggil Dina, untuk meminta ditemani menghadap senior galak itu. Tapi, melihat Dina sudah terlanjur larut dalam misi pencarian, Ratya pun terpaksa memenuhi panggilan Kak Riko seorang diri. "Ada apa, Kak?"

"Kamu tidak usah ikut nyari. Tapi sebagai gantinya, kamu tidak boleh istirahat. Langsung lanjutkan perjalanan ke pos tiga lewat jalan kecil di sebelah makam sana. Jalan lurus, nanti kalau sudah mulai tampak pemukiman penduduk, kamu belok kanan. Ikuti jalan aspal sampai ada kantor pos."

Jika timing-nya tepat, Ratya sangat ingin jingkrak-jikrak karena Kak Riko memecatnya sebagai agen pencari tikar. Tapi, karena tidak mau dapat masalah Ratya hanya bisa berkata siap dan segera hengkang dari hadapan Kak Riko.

"Kamu kenapa nggak bawa jaket?"

Ratya yang sudah berjarak satu meter dari Kak Riko menoleh ke belakang dengan berat hati. Setiap kata yang Kak Riko ucapkan seolah-olah adalah sebuah auman yang membuat Ratya bergidik ngeri jika harus bercakap-cakap dengannya.

"Saya lupa, Kak."

"Kamu itu mau jadi senior! Jaga kesehatan diri sendiri aja nggak bisa, gimana nanti kalau punya junior? Adik-adik kamu mau ditelantarin?"

Ratya hanya bisa menunduk seraya menautkan jemarinya satu sama lain. Sudah berada di jalanan sepi, di dekat pemakaman, dan kena marah pula. Kalau bukan anak paskibraka kamu tidak kuat.

"Udah tau mau jurit malam, tapi nggak sedia baju hangat. Kalau kamu sakit yang repot siapa?"

"Siapa, Kak?" dengan polosnya Ratya keceplosan bertanya.

Bola mata Kak Riko berputar kesal. "Ya panitia, lah! Ya udah, kamu pakai jaket saya." Kak Riko melepas jaketnya, lalu ia menghampiri gadis yang berdiri kaku laksana patung itu. Ratya belum bisa menguasai sikap Kak Riko yang tiba-tiba berubah baik.

"Nggak usah repot-repot, Kak. Kalau misalnya nanti saya masuk angin, saya janji nggak akan ngerepotin siapa-siapa." Ratya mundur satu langkah menjauhi Kak Riko yang sedang menyodorkan sebuah jaket warna biru gelap.

"Pakai jaket saya atau push up?" ancam Kak Riko.

"Pakai jaket, Kak." Ratya spontan memilih opsi pertama. Ia tidak mau menambah deretan daftar hukuman yang pernah Kak Riko berikan.

〰〰

Jalan menuju pos tiga ini tidak semenyeramkan gang tadi. Di kanan-kirinya terdapat ladang yang ditumbuhi ketela pohon. Ratya tidak menyalakan lilinnya karena ia masih bisa melihat berkat bantuan lampu warga yang temaram dari kejauhan. Ratya juga tidak merasa kesepian, karena sunyinya malam diramaikan oleh kerikan jangrik.

I Choose You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang