Tepat pukul tiga dini hari, jurit malam telah selesai dilaksanakan. Semua junior duduk menjadi tiga baris di pinggir lapangan. Di depan mereka berdiri Bang Tito--purna yang baru saja lulus tahun kemarin.
Ia sedang membahas tentang sesuatu yang diberikan oleh senior sewaktu di pos terakhir tadi. Yaitu gulungan kertas yang berisi wejangan bagaimana nanti mereka harus bersikap sebagai senior. Mereka harus menjaga nama baik ekstrakurikuler paskibra, tidak boleh menjelek-jelekkan purna bagaimanapun sikap dan sifat mereka, serta wajib menyanyangi junior seperti adik sendiri.
Ratya tidak banyak mendengar apa yang Bang Tito bicarakan. Gadis itu tiba-tiba merasa mengantuk. Padahal sewaktu di perjalanan matanya sangat segar. Mungkin katena faktor kelelahan dan tenangnya suasana di sekitar lapanganlah yang membuat mata Ratya sangat ingin dilelapkan.
"Kalian kenapa diam saja?"
Ratya dan teman-temannya tidak menjawab. Mata mereka sudah tidak kuat untuk terbuka lagi.
"Ngantuk, ya? Ya udah, sambil menunggu azan subuh kalian boleh tidur."
Ratya memekik tertahan. Tanpa sadar ia dan Icha yang duduk di sebelahnya berpegangan tangan seperti hendak menyebrang jalan saking senangnya.
"Terima kasih, Bang," seru semua junior.
"Ayo yang laki-laki tidur di sana, agak berjauhan."
Ratya tidak menghiraukan seruan Bang Tito lagi, ia langsung berbaring dengan tasnya yang digunakan sebagai bantal. Punggungnya bergesekan dengan rumput. Sedikit basah karena embun memang, tapi sangat nyaman bagi Ratya. Bisa mengistirahatkan badan saja sudah lebih dari cukup.
Napas Ratya mulai teratur. Sedikit lagi ia akan pergi ke alam mimpi, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menyapa gendang telinganya.
Dutttt.
Di saat ia membuka mata, semua teman-temannya sudah terpingkal-pingkal.
"Siapa barusan yang kentut?"
Perlahan-lahan Gita mengacungkan jarinya. "Maaf, nggak bisa nahan. Tapi kalian tenang aja, nggak bau kok."
Mendengar pengakuan Gita yang terlewat polos, derai tawa semakin menjadi.
"Hei, jangan berisik!" teriak Kak Baron.
Ratya seketika meringkuk, begitu pula yang lainnya. Mereka langsung melupakan gas buangan dari Gita karena takut senior marah dan bisa jadi jatah tidur mereka ditarik kembali.
〰〰
Sayup-sayup terdengar azan subuh. Bang Tito membangunkan Ratya dan teman-temannya dengan normal. Kenapa disebut normal? Karena, Bang Tito tidak teriak-teriak, ia hanya menyoroti satu per satu wajah junior dengan senter dan berkata, "Ayo buka mata, kita salat subuh berjamaah dulu terus belanja dan masak."
Ratya duduk seraya mengucek matanya. Lalu, ia melihat ke sekelilingnya dengan sebelah tangan menutu mulut yang sedang menguap. Ratya bisa menyimpulkan bahwa teman-temannya juga masih mengantuk seperti dirinya.
"Ayo, cepat ke masjid. Jangan malas, Dek!"
Sebagian sudah berdiri sambil memakai tas masing-masing. Tapi tidak sedikit pula yang masih duduk acuh tak acuh. Ratya sendiri masih membetulkan tali sepatunya.
"Dulu sebelum merdeka, anak-anak seusia kalian dengerin azan seperti ini sambil berlarian. Kalian tau kenapa?! Mereka sembunyi dari penjajah. Salat mereka pasti nggak tenang. Lihat bedanya, sekarang kalian hidup di zaman yang udah enak, tapi nggak pernah bersyukur!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Teen FictionEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...