Ratya duduk menopang dagu di teras rumah Anila yang berada di daerah Tegal Besar, Jember. Meski kedua telinganya tertutup earphone, sebenarnya lagu yang terputar di gawai pipihnya itu tidak benar-benar ia nikmati.
"Mau cerita sesuatu?"
Gadis yang kini sudah beranjak dewasa itu menghela napas, melepas penyuara telinganya, dan memandang langit yang menggelap dengan tersenyum samar. "Aku lagi dengerin lagu One Call Away. Kenapa pas banget kamu tiba-tiba nongol."
Arga memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana drawsting hitamnya. "Lagu itu emang kita banget, kan? Kapan pun kamu butuh, detik itu juga aku langsung datang," katanya dengan gaya sok pahlawan.
Ratya berdiri untuk menjewer telinga Arga. "Lebay!"
"Jangan disamain sama murid nakalmu, dong. Main tarik aja." Arga mengusap cuping telinganya yang memanas.
"Lagian kenapa seharian ini aku dijadiin pelampiasan emosi? Tamu bukannya dilayanin malah diomelin terus!" sungut Ratya.
"Dulu di paskib kan sering dibentak-bentak. Seharusnya mentalnya udah terlatih," jawab Arga sambil mengacak rambut Ratya. "Ah ... yang ngomelin kan Riko, makanya kamu nggak ada protes. Kalau yang marah senior kesayangan mah jadinya malah ngangenin," lanjutnya berkelakar.
Ratya menyurukkan kepalanya ke dada Arga supaya rona pipinya tertutupi. Mendapat reaksi yang tiba-tiba seperti itu, mulanya Arga sedikit tersentak karena merasa de javu dengan kejadian di UKS dulu. Tapi detik berikutnya ia terkekeh puas ketika saudara kembar kesayangannya itu berhasil ia buat salah tingkah. "Aku kangen banget sama kamu," bisiknya di telinga Ratya sembari melingkarkan lengannya di punggung sang adik.
Bibir Ratya terangkat membentuk senyuman. Kalimat andalan Arga itu secara impulsif membuatnya mengingat peristiwa pada pertengahan kelas dua SMA silam. Yaitu momen mendebarkan sekaligus melegakan. Mengharukan juga menyesakkan dalam satu waktu.
〰〰
Hari itu, awal dari hubungan pelik ini.
Sudah setengah sebelas malam. Tapi Arga baru pulang, bahkan masih memakai seragam sekolah lengkap. Mesin motornya sengaja ia matikan di luar pagar. Ia berharap neneknya yang kemungkinan sudah terlelap tidak terbangun lalu mengomelinya karena habis keluyuran.
Begitu memasuki pekarangan rumah, sesuatu yang langsung menarik perhatiannya adalah mobil warna hitam milik papanya. Arga buru-buru memarkir motornya sembarangan.
"Gawat!" gumamnya panik.
Arga berlari kecil menuju toko roti, karena ia punya kunci cadangan bangunan tersebut. Malam ini ia memutuskan tidur di situ saja untuk menghindari amukan orang tuanya yang tiba-tiba datang hari ini. Mereka datang lebih cepat dari perkiraannya.
"Lah, pinter! Motor gue kan masih di luar. Kalau dibiarin di situ ilang, nggak ya?" cemasnya setelah berhasil masuk toko.
"Kalau ilang sih, enggak. Cuma disita aja kali, ya. Papa mana mungkin ngebiarin lo kelayapan terus kayak gini."
Arga menoleh dengan mulut terbuka lebar. Jantungnya jangan ditanya lagi, sudah jumpalitan tidak karuan. "APA SIH NGAGETIN AJA!"
Gadis yang rambutnya dicepol ala kadarnya itu maju. Gerik tubuhnya yang mengintimidasi membuat Arga mundur teratur seraya memasang wajah memelas. "Gini caranya nyambut kakak?" hardik gadis itu tajam.
Arga meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tentu saja tidak gatal. "Gue habis nongkrong di kafe aja kok. Semenjak di sini gue jadi suka makan. Minumnya susu stroberi. Suer ... nggak berani macem-macem."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Teen FictionEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...