Ratya masih memandangi motor mamanya yang melaju lalu membaur bersama pengendara yang lain. Sampai sebuah teriakan berulang-ulang masuk ke telinganya, ia baru mengalihkan perhatian.
"Saya tidak pakai kaus kaki, saya tidak pakai kaus kaki, saya tidak pakai kaus kaki."
Merasa familiar dengan suara itu, Ratya segera memasuki area sekolah untuk memastikan. Benar saja, terlihat Arga berlari mengelilingi lapangan upacara dengan napas terengahnya. Rambutnya yang belum juga dicukur mengayun kesana-kemari mengikuti gerakan tubuhnya.
"Nah, itu hukuman kalau atribut sekolah yang kalian pakai tidak lengkap. Jangan dicontoh," ujar guru piket yang berjaga di samping gerbang sambil menyalami siswa-siswi yang berdatangan termasuk Ratya.
"Mereka berdua ini yang layak dijadikan panutan dalam berseragam," lanjut beliau.
Gara-gara serius memperhatikan Arga, Ratya sampai tidak menyadari bahwa di samping guru piket tersebut juga berdiri Ravi dan Bastian yang kini sedang tersenyum malu karena dipuji di hadapan kelas sepuluh yang baru tiba di sekolah.
Setelah bertugas di Hari Kemerdekaan, mereka memang dijadwalkan langsung aktif belajar agar tidak terlalu ketinggalan pelajaran lagi. Mestinya Ratya tidak perlu sekaget ini saat bertemu dengan Ravi.
"Iya sih, anak paskib tuh selalu rapi. Atribut mereka lengkap, nggak pernah ketinggalan."
Ratya mendengar bisikan adik kelasnya saat ia baru selesai bersalaman dengan guru piket. Kemudian gadis itu tersenyum singkat pada Ravi dan Bastian karena dirasa kurang tepat jika mengajak mereka mengobrol sekarang.
Setelah itu ia berniat langsung menuju kelas, namun rasa aneh pada rok seragam membuatnya memelankan langkah. Kok longgar, ya?
Sadar jika ia akan dihukum kalau ketahuan, Ratya segera merapatkan jaket yang dikenakannya untuk menutupi bahwa ia lupa memakai ikat pinggang. Anak paskib selalu taat peraturan? Ratya menggeleng kecil. Kami juga manusia biasa. Segera ia bergegas lagi, takut jika guru piket itu memergokinya.
Ravi menepuk pundak Bastian sebagai tanda ia ingin pergi dulu, atau menyusul Ratya lebih tepatnya. Tapi Bastian menahannya, karena ia tidak mau ditinggal sendiri. "Aku masih nunggu Gita. Temenin aku di sini dulu dong, Rav."
Ravi mendecak. Tidak mau Ratya melangkah lebih jauh lagi, maka ia memutuskan untuk memanggil gadis itu. Begitu juga Arga, pemuda yang sudah selesai menjalani hukuman itu ingin menagih hadiah yang Ratya janjikan karena tim mendaki dari fotografi berhasil masuk tiga besar dalam kategori foto matahari terbit terbaik.
"Ra!"
Ratya menoleh, melihat siapa yang menyebut namanya lantas tersenyum semringah.
〰〰
Rinda duduk dengan tidak nyaman di ruang istirahat kantor tempat Andre bekerja. Menunggu Laila dan Budi yang terlambat datang membuatnya bosan. Apalagi pekerjaan di rumah masih banyak yang menumpuk, semakin menguatkan keinginan untuk segera pulang.
"Kamu mau lihat-lihat taman bunga sembari nunggu mereka datang?" Papa Ratya mencoba memberi pertimbangan untuk menguraikan kekikukan di antara mereka.
"Nggak, Mas. Aku ke sini kan bukan untuk karyawisata."
Andre berdeham pelan, merutuki dirinya yang salah bertanya. "Nah, kalau begitu silakan menikmati ini saja," pungkasnya menawarkan teh beraroma melati dan beberapa kudapan yang dibawakan oleh petugas. Dalam hati ia bersyukur, hidangan tersebut datang tepat pada saat ia kehabisan kata-kata.
Saat Rinda baru meraih cangkir, pasangan suami istri yang ditunggu-tunggu muncul diantar oleh seorang resepsionis. Mama Ratya pun lekas meneguk sedikit tehnya lalu berdiri seperti Andre untuk bersalaman dengan tamu tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [END]
Teen FictionEnam tahun setelah lulus SMA "Dari dulu masih suka berantem aja. Tapi keren, loh. Kalian langgeng banget," puji adik kelasnya itu. Arga hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Ratya, di bawah teriknya matahari lagi-lagi ia harus memaksakan tawa...