4. Pelampiasan

135 19 2
                                    


Disinilah aku, di sebuah pantai yang tidak jauh dari ibu kota tempat ku tinggal. Suasana pantai malam sangat tenang dengan suara desiran ombak menjadi alunan musik dalam tangis ku.

Iya aku nangis begitu aku dan arka tiba di tepi pantai, entah kenapa tiba - tiba saja aku ingin sekali ke pantai melepaskan semua topeng ku yang sudah ku gunakan saat bersama bang kevin.

Arka sempat bingung kenapa begitu sampai aku langsung nangis tersendu - sendu sampai teriak - teriak gak jelas seperti saat ini, aku berteriak menyebut nama bang kevin. Arka hanya diam mendengarkan seruan penuh emosi bercampur dengan isakan tangis.

Arka seolah mengerti dan memberiku waktu untuk meredakan emosi ku, arka hanya diam tanpa berkomentar sesekali menepuk pundak ku pelan. Di saat seperti ini arka menjadi sosok yang sangat pengertian, mengerti akan waktu ku.

Aku pun berhenti menangis saat tersadar akan sesuatu, apakah di sini ada orang lain selain aku dan arka? Kalau ada bisa malu aku, karena kelakuan ku tadi.

"Udah capek nangisnya?" tanya arka yang melihat ku berhenti menangis,
"Apa ada orang lain selain kita ka?" tanya ku balik sambil memerhatikan sekeliling ku.
"Nggak, kenapa bisa malu juga lu nau," goda arka pada ku sambil menaik turunkan alisnya yang tebal seperti ulat bulu hitam, aneh arka kan cowok kenapa alisnya lebih tebal dan teratur dari pada alisku.

"Kenapa liatin gue gitu, naksi lu ya sama gue," tanya arka narsis,
"Suka - suka lu aja ka malas gue berdebat," jawab ku datar.
"Masih mau lama lagi nggak di sini?"
"Masih, kenapa lu udah mau pulang gitu? Dasar anak mama," cerocosku
"Nggak gitu nau, lu tau kan ini sudah malam dan lu anak perempuan. Nggak baik pulang malem - malem,"
"Gue gak mau pulang ka,"

"Loh kenapa? Oh ya bang kevin tuh siapa?" tanya arka penasaran sambil merapatkan duduknya pada ku agar tidak ada lagi jarak antara aku dan arka,
"Temen abang gue ka, cowok yang tadi main hp duduk di sofa ruang tengah." jelasku

"Dia nolak lu nau?" pertanyaan arka sungguh menohok hati, padahal aku belum mengungkapkan perasaan ku pada bang kevin. Aku malah sudah nangis duluan sebelum mengutarakan.
"Gue belum bilang apa - apa ke dia ka,"
"Terus kenapa lu nangis,"
"Gue di tolak secara halus ka, sebelum gue ungkapin perasaan gue ke dia." tanpa ku sadari air mata ku mulai terjatuh lagi, dan tangan arka dengan lembut menyentuh pipi ku dan menghapusnya.

"Udah jangan nangis lagi, masih ada gue." ucap arka lembut,
"Emang kenapa kalau ada lu ka, semuanya bakal sama juga. Gue tetep sakit hati juga"
"Gue yang bakal buat lu ngelupain dia, kita sama - sama mulai ini dari nol." kata arka meyakinkan ku.

"Gue sudah mulai menyukai lu nau dan melihat lu seperti ini sangat menyakitkan," sambung arka
"Maafkan gue ka, gue juga udah nyakitin lu" ucap ku lirih,
"Santai nau, rasa ini baru tumbuh jadi belum begitu menyakitkan. Gue masih ada kesempatan kan di hati lu"
"Gue akan coba ka, membuka dan menutup lembaran di hidup gue."

"Antar gue ke rumah ranti ka, malam ini gue lagi gak mau pulang." kata ku sambil
"Nggak lu tetep pulang ke rumah lu, nanti gue yang kasih tau bang yogi,"
"Lu mau kasih tau apa, lu mau bilang ke bang yogi tentang perasaan gue ke bang kevin gitu."
"Ya nggak gitu, kan banyak masih alasan yang lebih baik dan masuk akal tentang kondisi lu sekarang ini,"

"Ayo gue anter," sambung arka langsung bangun dari duduknya meraih jemari ku dan menggenggamnya erat, seperti nggak mau melepaskan ku takut aku bakal pergi dari sisinya.
"Gue bisa jalan sendiri ka, nggak usah di seret gini." ucapku sewot.

"Hahaha.. Habis lu kalau nggak gini lu bisa lari dari gue," balas arka yang mulai menunjukkan ketengilan dari sosok si Arka Manuel Wijaya. Karena sehari saja tanpa ketengilannya bukan arka yang sesungguhnya.

Dunia NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang