11. Day 2

99 16 9
                                    


Sesampainya di rumah arka lalu mengantar ku menuju kamar ku, setelah terlebih dahulu meminta izin pada bunda ku. Bang yogi yang baru keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamar ku, menatap kami yang baru saja menaiki tangga akhir.

"Bang minjem baju lu ya," kata arka
"Minjam minjem, lu punya rumah kan." sahut bang yogi yang berjalan ke sofa yang selalu jadi tempat bang yogi main game.
"Bang yog jangan ngomong gitu ah," kali ini aku yang menegur bang yogi.
Detik berikutnya mereka sudah tertawa bahkan bang yogi sampai terbahak - bahak menertawakan teguran ku barusan, emang apanya yang lucu? Kok mereka tertawa.

"Sweet banget kamu belain aku," kata arka yang sudah terlrbih dahulu menghentikan tawanya sedangkan bang yogi masih saja terbahak.
"Ka apanya yang lucu kok kalian ketawa?" balas ku dengan raut muka yang bingung.
"Bang yogi hanya bercanda aja nau, ini candaan ala kaum pria." jelas arka lalu merangkup kedua pipi ku.

"Lah candaan tapi ngomongnya pedes,"
"Duh adek gue lemot, sini deh bang yogi mau ngomong." perintah bang yogi pada ku, aku pun langsung mendekat kearahnya.
"Pakai aja baju gue, tapi mandi dulu lu ka," perintah bang yogi lagi, arka langsung masuk kedalam kamar bang yogi sesuai perintah.

"Si bangsat itu nggak sempat apa - apain kamu kan nau," tanya bang yogi halus kalau sudah begini dia pasti serius.
"Bang bisa nggak jangan bahas ini dulu," jawabku lalu menunduk tidak berani menatap wajah bang yogi, tanpa ku sadari air mata ku jatuh lagi setetes menjadi dua tetes lama kelamaan aku jadi nangis sesegukan di depan bang yogi.

"Jangan nangis ra, maafkan bang yogi setahun ini abang nggak memperhatikan mu." tangan bang yogi memegang dagu ku lalu menaikan wajah ku, memperhatikan wajah ku lalu merangkup kedua pipi ku dan menghapus air mata ku.
"Abang sangat khawatir, mendengar bunda telponan dengan wali kelas mu. Karna bang yogi ada di dekat bunda, bang yogi pikir... Ah maafkan bang yogi dek." sesal bang yogi yang langsung memeluk ku dan meminta maaf berulang kali.

"Ini bukan salah bang yogi kok, rara aja yang kurang berhati - hati. Rara pikir di sekolah seperti itu nggak ada orang yang seperti itu,"
"Rara berharap cukup satu orang saja di sekolah itu, berperilaku buruk." ucap ku yang masih saja menangis, sepintas bayangan kejadian tadi kembali terlintas di pikiran ku. Pandangan ku mulai mengabur dan kepala ku pusing serta sakit sekali, setelahnya aku tidak mengingat lagi apa yang terjadi pada ku.





----



Aku perlahan membuka mata ku sayup - sayup aku mendengar kalau ada yang sedang berbicara, pertama kali aku membuka mata ku ruangan di sekitar ku terasa asing bagi ku. Ruangan serba putih dan begitu kental aroma obat - obatan, ku tolehkan kepala ku ke kanan yang ku lihat hanya jendela kaca yang terbuka dan ada horden berwarna hijau toska.

Ku tolehkan kepala ku lagi ke kiri dan aku melihat arka sedang duduk berbincang sama bunda, ingin sekali aku memanggil bunda tapi tenggorokan ku sangat kering alhasil aku hanya mengangkat tangan ku sebelah yang langsung di lihat oleh arka. Dia nampak terkejut namun detik selanjutnya dia tersenyum, lalu bergegas menghampiri ku yang di ikuti oleh bunda nampak sangat terlihat cemas.

"Kamu sudah sadar? Kamu mau apa?" tanya arka yang nampak gelagapan melihat ku menunjuk ke arah leherku.
"Leher kamu sakit? Aku panggilin dokter ya, tunggu." arka langsung melesat keluar ruangan menyisakan aku dengan bunda.
"Apa yang sakit nak," tanya bunda dengan penuh kasih sayang. Membelai dan mengelus puncak kepala ku.

Aku yang masih tidak bisa menjawab, hanya menunjuk leherku setelahnya aku menunjuk ke arah air minum. Berharap bunda bisa mengerti maksud ku apa, ternyata bunda adalah seorang ibu yang sangat peka terhadap anaknya. Tidak butuh waktu yang lama bunda sudah mengerti maksud ku lalu mengambilkan air dan sedotan, memberi ku minum dan aku minum banyak sekali tenggorokan ku terasa sangat kering.

Dunia NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang