18. Day 9

70 10 1
                                    

Happy Reading 🍁

Dua hari setelah aku melihat isi folder itu, membuat ku semakin ingin mengetahui apa arti di balik teka - teki semua ini. Apa maksud dan tujuannya kenapa semua seperti mengarah pada ku, siapa ibu Leona dan bapak MH. Siapa mereka setiap kali melihat fotonya membuat ku ingin menangis, aku seperti merindukan seseorang tapi entah siapa itu.

Pintu kamar ku terbuka lebar dan lihat siapa yang selalu mengganggu ku, sore ini bang yogi selalu meminta ku untuk menemaninya untuk kesekian kalinya pada hari ini. Sebenarnya aku hanya dijadikan alasan supaya dia bisa keluar malam ini, kemarin bang yogi mendapat peringatan dari bunda memang dianya sih yang bandel karna ketahuan nongkrong sama anak geng motor yang berandalan.

"Ayolah ra, kasian abang lu nih pengen jalan sama pacarnya." rengek bang yogi sambil terus menerus menggoyangkan tangan ku.
"Apa sih bang kayak anak kecil aja lu, geli gue muka sama kelakuan nggak sesuai!" ucapku jijik sambil mendorongnya agar menjauh.
"Rara cantik, rara baik, rara imut, rara pintar yayayaya tolongin bang yogi ya." dengan gerakan cepat mendekat dan menoel pipi ku.

"ADUH PERGI SANA LU BANG! JIJIK GUE!" sambil memukul tangannya yang masih menoel pipiku.
"Eh baru ingat tadi arka bilang mau ikut, habis dengar kalau lu nemenin gue." ucap bang yogi tiba - tiba.
"Kalau lu nggak mau ya udah, gue kenalin aja sama karina temannya rania pacar gue." sambung bang arka sambil melenggang pergi keluar kamar ku.

"Sumpah ya lu bang kalau bukan abang gue, udah gue lempar lu ke planet jupiter!" teriakku frustasi ancaman macam apa ini.
"Tunggu gue mau siap - siap!" sambungku yang mendapat cengiran kemenangan dari manusia absurd gila itu.
"Sepuluh menit ya rara cantik," balasnya dari luar kamarku, sial bang yogi suka seenaknya sama aku.

Disinilah aku duduk dengan manis di belakang kursi kemudi, sempat terjadi percekcokan beberapa menit lalu. Bang yogi protes katanya dia seperti supir taxi, kalau aku duduk di belakang yang langsung ku balas bakal lapor ke bunda yang berdiri nggak jauh dari kami kalau bang yogi bohong.

"Ra duduk depan sini gih, gue ngerasa kayak sopir!" untuk kesekian kali dalam perjalanan omongan ini terus bang yogi ucapkan.
"Suka - suka gue lagian kan bang yogi yg maksa, gue kan pengen malas - malasan dalam kamar."
"Nggak ikhlas banget bantu abangnya,"
"Setengah hati gue ikhlas bang, lu sih bandel susah dibilang kalau gini gue juga jadi repot." omelku pada abang kurang kilo kepintarannya ini.

"Kita mau kemana ini bang?" saat aku baru sadar ternyata arah perjalanan kami bukan ke arah mall tapi kearah tempat anak berandalan, tepatnya di komplek susun kumuh dekat jalan layang terlantar.
"Lu temanin gue bentar ra," ucap bang yogi lalu memberhentikan mobilnya tepat dekat segerombolan anak geng motor, dia turun lalu bertos ria bareng teman yang sebagian aku tau kalau ada teman sekelas dan seangkatan bang yogi.

Samar - samar tapi jelas aku mendengar mereka membicarakan balap motor yang akan di mulai sebentar lagi.
"Lu aja yog yang balap lawan anton anak geng mahco," si cowok berambut merah terang langsung merangkul bang yogi.
"Iya yog lu selalu menang lawan geng motor lain," kompor bagas teman sekelas bang yogi.
"Tapi gue gak bawa motor, gue nggak bisa juga ada adek gue di mobil." ucap bang yogi.

"Gampang pakai motor gue, adek lu di jaga sama kita. Aman deh pokoknya! Gimana?" si cowok berambut merah nenyerahkan kunci yang dia ambil dari saku celananya.
"Jangan nolak! Kita udah nerima taruhannya, tadi kita iuran terkumpul duitnya sebesar sepuluh juta." kata bagas cepat setelah melihat bang yogi hendak mengembalikan kunci.

Dunia NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang