3.0: NEW FRIENDS

409 38 2
                                    


Terimakasih untuk semua yang masih baca buku gue sampai bab ini, gue harap kalian tetap terhibur sampai halaman terkahir!

"kita dapat menilai intelejensi seseorang dari hal apa yang mereka tertawakan" – said the wise people.

Sekarang gue duduk di bangku SMA, awal masuk sekolah gue mempunyai harapan yang sama dengan 90% remaja laki-laki pada umumnya, yaitu punya temen sekolah yang cantik. Tapi sebenernya disini gue juga mempunyai harapan besar agar gue menjadi orang yang berbeda. Udah cukup bagi gue kenakalan-kenakaln semasa SMP, gue tau bahwa gue udah mencoba melakukannya, dan sekarang biar kalian yang menilai apakah gue orang yang sama dengan gue sewaktu SMP.

Hari pertama gue resmi jadi siswa SMA gue langsung melakukan talent scouting (baca: nyari potensi gebetan), bukannya nemu sasaran, tapi gue malah menyaksikan kebodohan-kebodohan calon temen-temen gue waktu itu.

Dimulai dari Paulus Robert, waktu di ospek, ada yang namanya sesi evaluasi, sesi dimana para kakak kelas kepo-in sosial media anak-anak baru, dan setelah itu bakal di ekspose saat ospek. Nothing special I guess, beberapa orang curhat tentang sekolah baru ini betapa alay nya anak-anak disini, ada yang curhat kalau dia sedih gebetannya gakjadi masuk sekolah ini, ada yang curhat kalau kakaknya ada yang galak banget kayak macan waktu ospek, ada juga yang curhat kakak ospeknya ada yang cantik, tapi pake celana bukan rok, sampai-sampai ada yang curhat kalau hari ini jalan menuju Jakarta dari Bekasi padat merayap. Ternyata yang terakhir kakak kelas gue salah nge stalk twitter, dia buka twitternya polda metro jaya.

Gak lama setelah muncul nama Paul, gue mendadak ngakak, ternyata Paul nulis di twitter kalau dia mau bakar sekolah barunya. Paul berasal dari SMP Santa Lusia, belom banyak yang kenal Paul waktu itu. Setelah dibacain isi twitter Paul, senior gue manggil Paul dan menyuruhnya maju, waktu itu kita lagi dikumpulin di aula lantai 4. Gue inget banget, senior gue megang korek api dan teriak-teriak kaya orang kesurupan...

"WOI LO MAU BAKAR SEKOLAH GUE??? BAKAR NIH BAKARRRRRRRRRRRRR!!!!" gue bisa melihat ada kobaran api dimata senior gue waktu itu.

Paul yang dari awal mukanya mirip comberan, sekarang mukanya kicep dan lebih mirip koreng bekas petasan. Kita semua yang ada di dalem aula, selalu disuruh nunduk ketika sesi evaluasi ini, sialnya gue yang lagi nunduk ketauan kalau nahan ketawa. Muncullah kata-kata pamungkas dari senior ke junior "WOI ITU TEMEN ANGKATAN LO, KENAPA LO KETAWAIN? SENENG NGELIAT TEMEN LO DIMARAHIN?" dan gue berakhir dipanggil juga sepulang ospek.

Awalnya gue kira gue dipanggil karena ngetawain Paul, ternyata perkiraan gue meleset, gue baru inget kalau hari itu gue telat 15 menit saat ospek berlangsung. Siapa yang sangka kalau ternyata ospek yang mulainya dari kemarin jam 5 pagi, sekarang dimulai jam setengah 5. Waktu gue dateng ke sekolah, gue tidak melihat satu orang pun disana, kecuali temen gue. Cik-cik.

"lah cik, kok gak ada orang sih? Bego banget kayanya kita dateng kecepetan deh"

"iya nih, yauda nyantai dulu yuk"

Waktu gue lagi santai duduk-dudukan dideket gerbang sekolah, tiba-tiba ada senior gue teriak "WOI LO BERDUA!!! ENAK LO YE SANTAI-SANTAI DISINI!!. LO BERDUA IKUT GUE SEKARANG"

Kampret, ternyata kita berdua yang bodoh.

Balik lagi waktu gue dipanggil karena telat, gue ditanyain bermacam-macam hal dari yang gak penting sampai yang penting, gak lupa ada Cik-cik di sebelah gue. Senior gue pun akhirnya nanyain gue dan Cik-cik pertanyaan seperti... Namanya siapa?, kenapa telat?, rumahnya dimana?, dengan siapa?, semalam berbuat apa? sampai ditanyain nama ibukota kuala lumpur.

Gue pun menjelaskan sejujur-jujurnya kalau gue gatau hari ini dimajuin setengah jam ospeknya, dan Cik-cik memakai alasan paling klasik diseluruh dunia 'telat bangun'. Sebenernya gue dateng lebih lama dari Cik-cik, tapi senior gue dengan baik hatinya malah lebih marahin Cik-cik ketimbang gue, alasannya karena Cik-cik rumahnya lebih deket ke sekolah daripada gue. Gue yang daritadi di pelototin sama senior-senior jadi gak lagi dipelototin, senior gue dengan bijaksana merubah target dari gue ke Cik-cik. Gue pun merasa legah.

Selesai kena marah, tiba-tiba Cik-cik ngomel-ngomel sendiri ke gue "ANJIR BEGO BANGET, GUE DATENG LEBIH CEPET DARI LO, TAPI GUE YANG LEBIH KENA MARAH". Untuk meredahkan emosi Cik-cik gue pun ngomong "iya ya, kasian banget lo cik. Terus lo dapet tugas apa?" (padahal dalam hati gue, gue berkata 'mampus lo!")

"gue disuruh bikin esay 5 lembar, lo gimana?"

"gue juga kok, jadi tenang aja". (padahal gue cuma disuruh bikin 1 lembar) gue merasa ikhlas dan puas waktu itu.

Inilah yang disebut white lies temen-temen. Dia seneng, gue seneng. Gak ada yang dirugikan.

Gue yakin setiap ospek sekolah pasti disuruh bawa atribut-atribut aneh, waktu itu gue disuruh buat name-tag segede setengah badan gue, dengan tambahan ukiran batik. Gue juga disuruh bawa topi-topian yang terbuat dari bola plastik yang dipotong setengah lalu diberi tali.

Gue adalah orang yang paling mager ngerjain sesuatu hal gak penting kayak gini, tapi karena nyokap gue takut gue diiket ditengah lapangan dan dilempari lemper sampai sekarat oleh senior, nyokap gue pun ngebantu gue buatin atribut-atribut ospek. Bener kata orang yang bilang "anaknya ospek, yang pusing orang tuanya".

Semua atribut udah gue siapin dengan mantap pada hari pertama gue ospek, gue udah double check apa aja yang harus dibawa saat ospek berlangsung, gak lupa gue juga bawa alat setrum dan semprotan merica kalau-kalau ada senior yang mau ngiket gue ke tengah lapangan dan lemparin gue pake lemper sampai sekarat. Dengan mantap gue masuk ke sekolah dan memulai ospek hari pertama itu, gue kalungin name tag gue di badan, gue pake topi bola bodoh itu, dan gue kantongin setruman di kantong kiri dan semprotan merica di kantong kanan.

Gue siap, gue mantap.

Sesampainya gue disana, gue baru sadar. "GUE GAK NEMPEL FOTO 4X6 GUE DI NAME TAG!". Mampus gue. Gak kehilangan akal akhirnya setelah berpikir lumayan panjang (sekitar 2 meter), gue pun mengakalinya dengan menggambar muka gue di tempat name tag itu. Mukanya emang jadi lebih mirip sama umbi-umbian dibanding dengan muka seorang manusia, tapi gue rasa hal ini cukup untuk mengelabui senior gue di hari pertama. Untungnya dihari pertama gue ospek, gak ada yang mempermasalahkan gambar umbi-umbian di name tag gue ini. Lebih tepatnya sih belum ada yang sadar.

Dihari kedua gue ospek, ada salah seorang senior gue yang akhirnya menyadari umbi-umbian yang gue buat di name tag gue itu. Saat ketauan, gue dibentak abis-abisan oleh senior gue "WOI LO, LO PIKIR OSPEK INI MAIN-MAIN? NGAPAIN LO GAMBAR IKAN PESUT DI NAME TAG LO?". Gue pengen beragumen kalau gambar ini lebih mirip umbi-umbian dibanding ikan pesut, tapi yaudalah gue males ngomong sama orang yang hidupnya jarang disentuh oleh seni.

Akhirnya selama dibentak-bentak, gue hanya berdiam diri, gemeteran, keringet dingin, tangan tremor, dan sedikit menyesali kenapa senior gue tingkat selera seninya sangat rendah. "mampus gue" dalam hati gue.

Gak lama setelah itu ada senior yang berbisik ke senior yang lagi marahin gue, gak lama senior gue pun ngomong "EH, ELO ADEKNYA FELIX?". Baru kali ini gue jawab "iya kak!". "HADUH PANTES AJA, EMANG KAKAK ADEK SAMA-SAMA NGACONYA. YAUDALAH". Yang paling menarik dari ospek SMA adalah ketika lo punya kakak atau setidaknya kenalan yang masih bersekolah di SMA yang sama, lo bakal dikasih 2 pilihan, yang pertama adalah lo bakal lebih dikerjain dibandingin yang lain, atau lo bakal terlindungi dari serangan senior.

Selama gue hidup 15 tahun akhirnya ada hal yang baik muncul dari kakak gue ini.

Dulu gue punya rencana, yaitu gue bakal dengan ikhlas menukarkan kakak gue dengan sebungkus dus indomie kalau terjadi krisis pangan, gak lupa dengan kembalian 500 perak 4 biji, tapi semenjak kejadian 'pengaruh kakak saat ospek SMA' ini, gue jadi gak tega menukar kakak gue dengan sedus indomie. Gue bakal menukar kakak gue dengan sebungkus supermie!!! 

The Pisbak [SUDAH TERBIT DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang