Cerita 49 - Lamaran Pak Rizal dan Syarat Leeandra

17.4K 1.6K 144
                                    

Tiga hari setelah bangun dari tidur panjangnya, Pak Rizal diperbolehkan pulang ke rumah. Semua orang terutama para anggota keluarga Hendratama menyambutnya dengan penuh suka cita hingga mewujudkannya dalam acara syukuran sekaligus bakti sosial yang dilangsungkan serempak di dua puluh kota besar yang ada di pulau Jawa.

Sementara rangkaian acara itu sedang diurus oleh Sebastian Hendratama, Ferdian Atmadja dan juga Bagaskoro Setiawan, di Minggu sore ini, tampaklah Pak Rizal yang sedang disuapi pisang goreng oleh sang pembuatnya. Bisa dikatakan, keadaaan dosen muda itu masih sangat memprihatinkan. Selain bobot tubuhnya yang merosot tajam, kecelakaan itu juga membuatnya tidak bisa berjalan seperti sedia kala.

"Lagi?" tanya Leeandra begitu Pak Rizal menelan habis suapannya.

"Lagi, dong, Lee," jawab Pak Rizal dengan nada manja yang membuat Leeandra menaikkan sebelah alisnya.

"Yang cidera itu kakinya Mas Rizal, tapi kok kalau lagi makan selalu minta disuapin sama Leeandra, ya?" tanyanya heran.

"Soalnya makanan yang disuapin sama kamu tuh rasanya jadi seratus kali lebih enak sih," jawab Pak Rizal lalu membuka mulut lebar-lebar.

"Halah! Bisa banget modusnya!" Meski memasang wajah segalak mungkin, nyatanya Leeandra tetap menyuapi Pak Rizal dengan penuh kelembutan dan juga kasih sayang.

Usai menelan pisang goreng terakhir, "Terima kasih sudah memberikan kesempatan kedua untukku, Leeandra." Pak Rizal mendadak berkata seperti itu dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. "Terima kasih sudah menjadi orang pertama yang kulihat saat Tuhan mengizinkan aku untuk membuka mata kembali."

"Leeandra juga berterima kasih pada Mas Rizal. Terima kasih sudah berjuang sejauh ini." Kedua tangan Leeandra pun digenggam oleh Pak Rizal dengan sangat erat. Keduanya saling menatap dalam diam hingga Leeandra mengajukan pertanyaannya. "Oh, iya. Kalau Leeandra boleh tahu, sewaktu koma, Mas Rizal mimpi apa?"

"Mas bertemu dengan mama dan juga ibumu." Pak Rizal lalu menceritakan bahwa di dalam mimpinya dia meminta maaf pada kedua perempuan itu. "Keduanya hanya bisa tersenyum, mengangguk lalu pergi dari hadapan Mas. Saat itu Mas panik karena tiba-tiba Mas berada di sebuah ruangan yang banyak sekali pintunya. Mas harus segera membuka salah satunya karena kalau tidak, Mas akan jatuh bersama dengan lantai yang perlahan runtuh. Mas pilih pintu berwarna biru dan ternyata itu mengantarkan Mas pada jurang tak berdasar. Sesaat sebelum terjatuh, Mas melihat sebuat tali yang ujungnya dipegang oleh kamu. Iya, Mas yakin banget kalau itu kamu. Mas pegang tali itu lalu Mas terbangun dan melihat kamu sedang tertidur di samping Mas."

"Berarti kalau Leeandra tidak pulang ke Indonesia untuk mengembalikan uangnya Mas, Mas Rizal sudah tidak ada di dunia ini, ya?"

"Itulah kamu. Perempuan tepat yang selalu hadir di waktu yang tepat," jawab Pak Rizal yang kemudian meminta pada Leeandra agar tidak meninggalkannya lagi. "Mas nggak akan pernah siap untuk hidup tanpa kamu. Apalagi saat ini usia Mas sudah kepala tiga."

"Woaah.. Pak Rizal sudah tua, ya?"

Mendengar itu, Pak Rizal terperangah kaget. "Jadi, dua tahun di Singapur kamu belajar mengejek, ya? Eh, asal kamu tahu saja, pria berusia kepala tiga itu diincar oleh banyak perempuan muda belia loh."

"Pantesan... perempuan seusia Leeandra tuh banyak yang akhirnya nikah sama brondong atau kalau nggak, ya, sama duda."

"Heeeh... ngapain itu sebut-sebut brondong dan duda?" protes Pak Rizal yang kemudian melarang Leeandra untuk berdekatan dengan keduanya.

"Bagaimana jika seandainya Tuhan menjodohkan Leeandra dengan seorang duda?"

"Berarti aku harus menjadi si duda itu!" Pak Rizal kemudian menuturkan rencananya. "Aku akan menikahi seorang nenek-nenek berusia sembilan puluhan. Lalu, setelah sehari menikah, aku akan menceraikannya." Leeandra pun memukul lengan kurus Pak Rizal dengan bantal sofa.

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang