Cerita 6 - Tugas dari Prof. Yanto

18.4K 2.2K 83
                                    

Hari Senin kembali menyapa dan saat Leeandra sedang asyik-asyiknya menyusun laporan evaluasi internal, interkom yang terletak di atas mejanya berbunyi. "Halo, selamat pagi, Prof. Yanto. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Leeandra pada sang penelepon yang sudah diketahuinya melalui lampu indikator yang menyala pada angka satu itu.

"Selamat pagi, Leeandra. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?"

"Bisa, Prof."

"Oke, saya tunggu. Terima kasih."

"Sama-sama, Prof Yanto," jawab sang asdos lalu bergegas menuju ke ruangan di mana kepala program studi Fisika itu berada.

Sesampainya di tempat tujuan, Leeandra langsung mengetuk pintu dan berkata, "Prof. Ini Leeandra."

"Silakan masuk, Leeandra."

Dengan wajah yang mendadak jadi tegang, Leeandra pun membuka pintu tersebut. Meski Prof. Yanto menyambutnya dengan ramah dan penuh senyum, nyatanya hal itu tidak bisa mengurangi kecemasannya.

"Saya memanggil kamu untuk memberi tahu soal ini," ucap Prof. Yanto sambil memberikan sebuah surat undangan ber-kop sebuah institusi negara yang membuat Leeandra langsung melebarkan pupil mata sekaligus menarik kedua sudut bibirnya.

"Sebenarnya yang bisa mengikuti acara ini adalah para dosen muda. Namun, dikarenakan di prodi kita hanya ada dua dan Zetta sedang mengerjakan sebuah proyek bersama saya, maka saya memilih untuk mendelegasikan kamu dan Rizal," terang Prof. Yanto pada Leeandra yang tampak sudah selesai membacanya.

"Terima kasih karena Prof. Yanto sudah mempercayakan kesempatan ini pada saya. Sungguh ini sebuah kesempatan besar sekaligus kehormatan bagi saya."

Prof. Yanto menautkan jemarinya. Dia lalu memajukan tubuhnya dan bertanya, "Kamu tidak keberatan jika harus pergi berdua dengan Pak Rizal, kan, Leeandra?"

"Tentu tidak, Prof," jawab Leeandra yang jelas tidak mungkin mengatakan hal sebaliknya. Apalagi soal Pak Rizal yang merupakan sosok dosen ternyinyir, kaku, dingin dan tukang sindir nomor wahid di prodi ini.

"Baiklah kalau begitu. Saya senang mendengarnya." Prof. Yanto lalu tersenyum pada sosok mahasiswi kebanggaan prodi yang tampak semangat dan ceria itu. Semoga apa yang menjadi cita-cita kamu segera dikabulkan oleh Tuhan, doa Prof. Yanto di dalam hati.

*****

Sekembalinya ke meja, Leeandra pun kembali menyusun laporan yang berisi penilaian terhadap pelaksanaan pembelajaraan dan hasil capaian oleh mahasiswa pada semester lalu itu. Baru lima menit dia menekuni pekerjaan, interkom di atas mejanya kembali berbunyi.

"Kamu ke ruangan saya sekarang. Jangan lama."

"Baik, Pak Rizal," jawab Leeandra yang kemudian berlari menuju ruangan dari sang penelepon.

Begitu dipersilakan oleh Pak Rizal untuk masuk dan duduk, aroma dari buku-buku yang sudah lama tersimpan di perpustakaan pun menyapa indera penciuman Leeandra.

Baru saja akan menikmati aroma yang merupakan favoritnya itu, "Kamu tahu, kan, kalau kita berdua akan pergi ke Surabaya?" Pak Rizal sudah melontarkan pertanyaan dengan mata yang tetap mengarah pada sebuah buku yang halamannya sudah tampak menguning itu.

"Sudah, Pak."

"Kalau begitu, saya minta nomor orangtuamu." Pak Rizal lantas menggeser ponselnya ke arah Leeandra.

"Untuk apa, ya, Pak?" tanya Leeandra dengan wajah bingungnya.

"Saya mau minta izin pergi bersama anak gadis mereka selama tiga hari," jawab Pak Rizal yang masih saja memakukan matanya pada lembaran dari buku yang berjudul Composite Materials itu.

"Sepertinya Pak Rizal tidak perlu menelepon orangtua saya karena surat undangan dan surat tugas dari prodi sudah menjadi hal yang sangat kuat untuk menjadi alasan agar mendapatkan izin dari mereka, Pak."

"Berapa nomornya?" Kali ini Pak Rizal menutup buku lalu menatap Leeandra dengan lekat.

"Nomornya nol de--"

"Tulis sendiri," suruh Pak Rizal seraya menyodorkan ponselnya.

Setelah memutar bola matanya karena kesal, "Pak, ini sandi-nya apa, ya?" Leeandra yang akhirnya menerima benda itu pun bertanya sambil menunjukkan layar dari benda pipih berwarna hitam itu.

"Tanggal lahir saya."

Dengan dahi yang berkerut dalam, "Maaf saya tidak tahu, Pak." Leeandra pun menyerahkan kembali benda tersebut.

"Katanya, 'saya berusaha untuk mengakrabkan diri dengan semua dosen kok, Pak.' Tapi, ulang tahun saya yang merupakan dosen di sini saja tidak tahu." Sebuah sindiran keluar lagi, Bung!

"Saya kerja di bagian kurikulum kalau Bapak lupa," jawab Leeandra yang kini mati-matian menahan emosinya.

Meski berdecak kesal, Pak Rizal pun menyebutkan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya pada Leeandra. Alih-alih segera memasukkan angka-angka tersebut, sang asdos justru sibuk menghitung berapa usia Pak Rizal saat ini.

"Tidak perlu kamu hitung-hitung usia saya," tegur Pak Rizal yang membuat Leeandra salah tingkah lalu segera memasukkan sandi lalu nomor telepon yang sejak tadi diminta oleh dosennya itu.

"Sudah, Pak," ucap Leeandra yang kemudian mengembalikkan ponsel tersebut dan berpamitan. Demi kesehatan aku tidak boleh berlama-lama di ruangan nitrogen cair itu.

*****

Ketika jam makan siang tiba, atau lebih tepatnya saat Leeandra tengah asyik menikmati bebek goreng sambal ijo pesanannya, Mbak Ina pun berkata, "Dengar-dengar, dua hari lagi ada yang mau ke Surabaya bareng Pak Rizal nih."

"Wew... jauh juga mainnya" Mbak Vidya menanggapi.

"Kalau boleh milih, Leeandra juga nggak mau pergi bareng Pak Rizal kali, Mbak," tanggap Leeandra pada akhirnya.

"Terus maunya bareng siapa?" tanya Mbak Dewi sambil mengaduk-aduk soto Kudusnya.

"Pasti sama Mas CaDosGan itu, deh," tebak Mbak Ina yang kemudian menanyakan hubungan di antara keduanya.

"Mas CaDosGan itu siapa sih?" tanya Mbak Rahma yang sejak tadi sibuk menyuir-nyuir daging ayamnya.

"Kerjaan lo dari kemarin makan doang sih, Ma! Masa Mas CaDosGan saja nggak tahu? Itu tuh pria yang selalu mondar-mandir di prodi kita kayak anak perawan nunggu pacarnya di malam minggu."Mbak Dewi dengan mulutnya pun membuat semua orang tertawa terbahak-bahak.

"Eh, jangan ketawa-tawa saja lo, Lee. Ayo, jawab pertanyaan gue!" Mbak Ina yang sudah bermalih rupa menjadi Mak Ina si biang gosip, tampak mendesak anggota gengnya yang paling muda itu untuk menjelaskan semuanya.

Tidak bisa lagi menghindar, Leeandra pun berkata bahwa Kak Halim mencarinya untuk urusan tesis. "Terus bagaimana ceritanya lo bisa kondangan bareng dia dan Pak Rizal?" Mbak Ina kembali mengeluarkan pertanyaannya.

"Leeandra diajak bareng sama Kak Halim yang ternyata sudah diajak bareng sama Pak Rizal."

"Kalau disuruh pilih, mending mana, Lee? Pak Rizal atau Mas CaDosGan?"

"Nggak dua-duanya deh, Mbak Ina."

"Coba kita tanya lagi setelah Leeandra pulang dari Surabaya. Bisa-bisa jawabannya beda karena nggak menutup kemungkinan kalau bakal ada benih-benih cinta dari Pak Rizal yang mulai tumbuh di hatinya Lee," tanggap Mbak Vidya yang kemudian tertawa cekikikan.

"Ngomong-ngomong soal Surabaya dan benih, jangan biarkan Pak Rizal menanamnya di rahim lo, ya, Lee! Kalau sudah nggak kuat, ya, main amanlah." Mbak Ina dan Mbak Vidya pun memukul lengan Mbak Dewi secara bersamaan.

Sementara itu, Leeandra yang sedang meminum jus sirsaknya pun tersedak. Mulutnya Mbak Dewi ini benar-benar jahanam! 

TBC... 

Selamat membaca dan selamat jatuh hati pada kisah Mbak asdos kesayangan kita semua yang satu ini.💞💕😘

.
.
.
Kak Rurs with💎

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang