"Bukan salahku jika aku terlalu mencintaimu."
ZAHRA POV
Aku sedang menatap langit di depan teras rumahku sambil meneguk secangkir teh yang sengaja di buatkan oleh kakak ku. Kakakku bisa menjadi sangat peka saat melihat aku sedang tersakiti. Bahkan hari ini dia tidak jadi kembali ke sekolahnya untuk memgerjakan tugas-tugasnya. Padahal dia sekarang sudah kelas 12, masa-masa dimana harinya selalu di sibukkan dengan materi.
Aku menghela nafas gusar. Hatiku masih sakit tak kuasa menerima kenyataan. Begitu banyak realita pahit dalam kisah percintaanku. Mulai dari saling mencintai tapi tak bisa saling bersama, sampai harus melepaskan tanpa alasan dan tujuan yang jelas.
Ditambah aku harus melepaskam Dito yang jelas-jelas tidak tahu apa-apa mengenai semua ini. Dia hanya tokoh pendamping dalam hidupku, tapi kenapa aku harus melepasnya juga.
Aku menghela nafas panjang. "Ya Allah... Aku ingin pulang.." gumamku.
Air mataku jatuh lagi. Wahai sang Air mata, kenapa kamu suka sekali jatuh?
"Gibran... Gue rindu..." Ucapku yang masih tertunduk dengan air mata yang masih membasahi pipiku.
Tiba-tiba aku merasakan pelukan yang begitu hangat. Ada seseorang yang memelukku dari belakang yang sekaligus mengejutkanku.
"Kalo rindu, kenapa nggak ngomong?" Ucap Gibran sambil memelukku erat.
Air mataku semakin mengalir. Jujur aku rindu dengan pelukan ini, tapi aku lebih sakit karenanya.
"Jangan sakitin hati lo terus menerus Ra. Dan kalo gue penyebab lo nyakitin hati lo, gue minta maaf." Ucapnya sambil menenggelamkan kepalanya di pundakku.
"Lo ngapain ada disini Bran?" Tanyaku sambil mengusap air mataku dengan kasar.
"Gue mau obatin rindu lo. Karena satu-satunya obat rindu adalah bertemu."
Aku mencoba menahan air mataku agar tidak kembali menetes. Setidaknya sampai Gibran pergi.
Gibran menempatkan posisinya menghadapku. Aku semakin menundukkan kepalaku. Aku tak ingin terlihat lemah dimata Gibran.
Gibran mengangkat daguku dengan jari telunjuknya, mencoba untuk membawa wajahku agar bertatapan dengannya. Dia meneliti dengan detil wajahku. Hal itu semakin membuatku menangis.
Aku memeluk erat pria yang berada di depanku. Katakanlah aku seorang munafik, tapi aku benar-benar merindukannya.
"Kenapa..?? Kenapa harus begini?" Ucapku lirih sambil tetisak di pelukan Gibran.
Tanpa menyudahi pelukannya, Gibran mengatakan sesuatu tepat di telingaku. "Ra, jangan mencoba pergi dari gue ya? Gue sakit kalo lo pergi."
Aku meremas baju Gibran, air mataku semakin membasahi bajunya. "Gue lebih sakit saat mencoba untuk pergi dari lo Bran. Tapi lo sendiri yang nyuruh gue pergi secara halus kan?"
Gibran menghela nafas. "Maafin gue. Gue salah. Nggak seharusnya gue bikin cinta gue pergi."
Aku melepaskan pelukanku. Ku tatap matanya lekat-lekat. "Cinta? Please Bran, jangan bikin gue berharap."
Gibran terdiam sebentar lalu mengusap air mataku. Dia menangkup pipiku dengan kedua tangannya lalu menatapku tepat di bola mataku.
"Nggak akan. Gue janji, setiap kehidupan lo selama lo bareng sama gue akan jadi realita."
Perkataan Gibran membuatku percaya dan kembali berharap padanya. Tapi sedetik kemudian aku membuang jauh-jauh semua anganku. Mungkin Gibran hanya ingin menenangkanku saja. Dia tidak serius dengan apa yang dia ucapkan.
Aku menanggapinya dengan anggukan pelan. Air mataku sudah tidak mengalir lagi. Benar kata Gibran, satu-satunya obat rindu adalah bertemu. Terima kasih Gibran.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berminggu di rumah saudaraku, Yovan. Aku ingin mencari hiburan disana, sikap kakakku yang bisa di bilang terlalu perhatian membuatku bosan di rumah. Aku memang sedang bersedih, tapi aku paling benci jika terlalu di kasihani.
Aku sampai di depan rumah Yovan. Kelihatannya rumahnya sedang tidak ada orang.
"Apa Yovan nggak ada di rumah ya?" Gumamku.
Aku berjalan mendekati pintu rumah Yovan. Awalnya aku ragu, karena keadaan rumah benar-benar sepi. Tapi kaki ku tetap melangkah juga.
"Ketok nggak ya??" Gumamku ragu.
Aku berjalan cepat menjauhi pintu. Setelah beberapa langkah aku berhenti dan kembali berpikir.
"Tapi kalo gue pulang yang ada gue bakal melihat raut wajah kak iyyan yang khawatir sama keadaanku."
Aku berkacak pinggang. Aku benar-benar seperti orang bodoh di depan rumah saudaraku sendiri.
"Arrghh.." aku berjalan cepat menuju pintu lalu mengetuk pintu rumah.
Hening, tak ada jawaban sama sekali. "Apa beneran nggak ada di rumah ya?"
Aku kembali mengetuk pintu rumah. Hasilnya tetap sama, tak ada jawaban apapun dari dalam rumah.
Aku mencoba membuka pintu yang ternyata tidak di kunci. Keadaannya memang sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku ragu untuk memasuki rumah itu, ya memang itu rumah saudaraku sendiri, tapi tetap saja terasa sungkan jika sedang tidak ada penghuninya.
Aku mencoba berjalan menuju kamar Yovan. Aku sudah memanggilinya berkali-kali tapi tetap saja tidak ada jawaban. Lalu aku berjalan menuju dapur, mungkin saja aku bisa menemukan tanteku disana. Saat aku sampai di bibir dapur aku terkejut saat menemukan semua keluarga besarku berkumpul sambil menyanyikan lagu Happy Birthday kepadaku.
BUDAYAKAN VOTE DAN COMMENT SESUDAH BACA.
FOLLOW ME :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Ini Juga Milikmu
Teen Fiction[SELESAI] Tak pernah kutemukan seorang yang membuatku nyaman selain dirimu. Kekuranganmu membuatku terus ingin menjagamu. Ku hiraukan semua cacian dan hinaan hanya untukmu. Jadi tetaplah hidup meskipun diriku tak lagi bersamamu...