15. Hening

87 9 0
                                    

"Diam mu itu bukan jawaban dari pertanyaanku."

Setelah dua hari Gibran tidak masuk sekolah, hari ini dia berangkat ke sekolah. Sikapnya berubah. Dia jadi Gibran yang dingin lagi. Dia tak ingin membuat luka lagi. Balik kanan maju jalan lebih baik untuknya saat ini daripada harus maju tapi banyak hati yang tersakiti.

Gibran berjalan sendiri menuju kelas. Saat ini sekolah masih sepi. Ini masih jam 6.05 pagi. Siswa-siswi lain mungkin masih ada di kasur mereka masing-masing. Bagus, setidaknya ia bisa tenang pagi ini.

"Gibran..." panggil seseorang yang tak asing lagi suaranya. Arra.

GIBRAN POV

Kenapa harus sekarang. Aku belum siap menghadapi Arra. Bagaimana aku menjelaskannya. Kenapa aku selalu bungkam setiap ada 1 kejujuran yang ingin aku ungkapkan padanya.

Aku terus melangkah, berpura-pura tidak mendengar panggilannya. Walaupun sebernarnya sema begitu jelas. Aku mempercepat langkahku saat ku tau bahwa Arra mulai mengejarku. Aku mulai berlari menjauh saat ku lihat dia sudah berada di sampingku. Aku tak memperdulikan panggilannya lagi. Aku hanya belum siap untuk mengatakan semuanya. Semua ini terlalu rumit.

Jam fisika hari ini kosong. Aku ingin pergi ke perpus untuk membuat puisi. Hanya perpus satu-satunya tempat yang aman untukku. Karna tidak ada murid yang tertarik dengan lomba musikalisasi puisi itu, mereka jadi membebankan semuanya kepadaku. Aku ditunjuk sebagai perwakilan kelasku.

Sudah lama semenjak aku sakit, aku hampir tak pernah menulis puisi lagi. Karna untuk apa menggoreskan kata yang indah saat hati kita sendiri kelam. Nggak ada gunanya.

Hari ini mau tidak mau aku harus membuat 1 puisi untuk kubaca di perlombaan lusa. Kebetulan perpustakaan juga sedang sepi. Jadi aku bisa menulis dengan tenang.

"Gibran." Tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku mendongakkan kepalaku dan mataku langsung bertemu dengan sepasang mata seorang gadis.

"Lo nggak akan kemana-mana!" Ucapnya saat ku mencoba untuk pergi darinya.

"Tadi pagi ngapain lo main kejar-kejaran sama gue?" Tanyanya to the point. Aku hanya diam. Sudah kubilang aku belum bisa bicara dengannya.

"JAWAB!!. Lo marah sama gue? Gue punya salah sama lo? Kenapa lo diem? Gue nggak butuh diem lo."

"Sorry, gue harus pergi."

"Bran--"

"Lo nggak denger? Gue Harus Pergi."

Oh shit... Aku menyakitinya lagi. Aku pergi tanpa melihat kebelakang. Aku tau dia pasti menangis. Itu sebabnya aku tak mau melihatnya. Aku benci melihat cewek nangis, apalagi jika aku yang menjatuhkan air matanya. Sakit.

ZAHRA POV

Gibran marah. Kenapa. Aku salah. Apa dia denger kata-kataku kemaren waktu di rumah sakit. Tapi kenapa. Salah kalo aku jatuh cinta sama dia?. Atau karena hal lain. Hatiku sakit bran. Sakit.

Aku langsung kembali ke kelas setelah dari perpus. Kejadian di perpus tadi cukup mengisyaratkan bahwa Gibran sedang tidak ingin di ganggu. Saat aku kembali ke kelas ternyata semuanya sedang mendiskusikan tentang lomba musikalisasi puisi yang di adakan sekolah lusa nanti. Aku terkejut saat melihat namaku yang menjadi perwakilan disana.

Aku tak pandai membuat puisi atau bernyanyi. Apa mereka gila?

"Gaes,, gimana kalo cupsgirls ini kita jadiin perwakilan kelas kita buat lomba paling membosankan di sekolah ini?" Tanya Haura. Sialan.

"Gua nggak bisa musikalisasi puisi Hau."

"Ya itu urusan lo! Gue gak nanya juga."

Setelah berkata begitu, dia bersama geng nya pergi meninggalkan kelas. Duh, bagaimana ini.

Aku sudah lama tidak bermain alat musik. Aku bisa bermain gitar dan piano. Tapi itu sudah lama sekali. Apa aku masih bisa.

Aku pergi ke kantin untuk melampiaskan kebimbanganku, dengan makan tentunya. Hari ini kantin sepi. Mungkin karna anak-anak sedang berdiskusi untuk lomba itu di kelas masing-masing. Bagus, setidaknya aku bisa makan dengan tenang.

Mataku terpana pada seseorang yang berada di pojok kantin. Gibran. Aku ingin menemuinya. Tapi, apa dia mau menemuiku?.

Aku memberanikan diri untuk bertanya lagi kepadanya. Dengan lebih lembut tentunya. Mungkin dia mau jawab.

"Bran. Lo sendiri disini?"

"Gue emang selalu sendiri."

"Gue temenin boleh?"

"Nggak!"

Sakit...

"Gue boleh nanya? Kenapa sih, lo aneh hari ini. Lo marah sama gue ya?"

"Enggak."

"Terus, kenapa lo dingin?"

"Gue pergi."

Lagi-lagi pergi sebelum selesai bicara. Dia pikir aku nggak bisa sakit apa? Hati aku juga bisa sakit. Diam mu itu cuman bikin keadaanku disini semakin ngambang. Aku butuh kepastian.







JANGAN LUPA BUAT VOTE DAN COMMENT NYA READERS TERKECE...
❤❤❤❤😙😙😙❤❤❤❤

Hati Ini Juga MilikmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang